![]() |
Sumber gambar : ketikakuberkata.blogspot.co.id |
Saat di Sekolah Dasar, tentu kita sudah pernah belajar tentang denotasi dan konotasi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, denotasi adalah “makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu dan bersifat objektif.” Sedangkan konotasi adalah “tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata; makna yang ditambahkan pada makna denotasi”.
Bahasa mudahnya, denotasi adalah sebuah kata atau kelompok kata yang mengandung makna sesuai dengan makna yang sebenarnya. Sedangkan konotasi adalah sebuah kata atau kelompok kata yang mengandung makna yang tidak sebenarnya, atau memiliki makna kata tersirat.
Dewasa ini di Indonesia, melihat jungkir baliknya tata nilai kehidupan bangsa bisa dilihat melalui kacau balaunya kata-kata yang ketelingsut di antara denotasi dan konotasi. Salah satu produk atau keluaran dari kebiasaan manusia Indonesia adalah tersingkirnya dan/atau lenyapnya denotasi. Misalnya kata musholla, yang dalam kaidah bahasa artinya tempat orang salat diberikan kepada tempat ibadah yang lebih kecil daripada masjid, masjid sendiri mempunyai arti tempat orang sujud. Padahal orang salat jelas lebih komprehensif dari pada orang yang sujud. Namun yang demikian itu ya wajar-wajar saja, manusia dan masyarakat Indonesia sudah terbiasa hidup dalam konotasi-konotasi, sesuatu tidak dimaksudkan sebagai sesuatu itu sendiri sebagaimana ia adanya.
Kita ambil contoh yang lain, misalnya kata “akal”. Akal adalah pembeda antara manusia dengan makhluk yang lain, misalnya binatang atau tumbuhan. Akal tidak sama dengan otak. Ayam dan kambing juga punya otak, tapi jangan bilang kambing berakal. Otak itu hanya hardware-machine dari suatu fungsi berpikir.[1] Akal itu bagaikan ujung jari Tuhan yang menyentuhkan cinta-Nya kepada kita untuk mentransfer cinta, silaturahmi, janji kasih, dan berbagai anugerah. Alat utama untuk menjadi orang Islam adalah digunakannya akal dan pikiran. Al-Quran, Hadist, dan lain-lain adalah bahan-bahan yang digunakan untuk mencari dan mendapatkan petunjuk dari Allah.[2] Di Indonesia tidak begitu, kata “akal” yang agung itu berubah makna menjadi sangat buruk ketika dijadikan kata kerja mengakali. Mengakali yang seharusnya bermakna mendayagunakan akal untuk kebaikan justru dikonotasikan dengan perbuatan kecurangan, kepicikan dan kelicikan.
Selanjutnya kata universitas, ada ribuan lembaga pendidikan yang menyebut dirinya universitas, tetapi pada kenyataannya yang diproduknya seratus persen adalah sarjana-sarjana fakultatif (fakultas), bukan sarjana universal sesuai namanya universitas. Para mahasiswa pergi kuliah, padahal yang mereka maksudkan adalah juz’iyyah. Kuliah berasal dari kata kulliyyah, kata dasarnya kullun, artinya ‘setiap’. Pergi kuliah artinya berangkat mencari setiap ilmu sehingga hasilnya adalah ilmu yang universal-komprehensif. Para sarjana fakultatif (fakultas) tidak pernah pergi kuliah, yang mereka lakukan di kampus adalah juz’iyyah, mencari ilmu fakultas-fakultas yang sangat spesialis (fakulatif spesialistis).
Lebih dielaborasi lagi ketika kata ‘rakyat’ disebut, yang dimaksud jelas bukan benar-benar rakyat, apalagi sungguh-sungguh untuk rakyat. Rakyat adalah komoditas terunggul di setiap jual beli kekuasaan. Sebagaimana kata ‘demokrasi’ adalah korban utama dari manipulasi denotasi dan pemanfaatan konotasi.[3] Para penguasa mengkonotasikan denotasi makna Negara, Pemerintah, pembangunan, hukum, keadilan, kemajuan, peningkatan, pemerataan, dan beratus-ratus kosakata kekuasaan lainnya yang babak belur maknanya.
Setiap kata, setiap perbuatan, setiap langkah dan keputusan, setiap jabatan dan fungsi, selalu tidak berkenyataan sebagaimana substansinya, melainkan ada pretensi, tendensi, pamrih, motivasi, maksud tersembunyi, “udang dibalik batu” atau apapun nama di belakangnya. Denotasi kata dikonotasikan, demi kepentingan uang dan keawetan kekuasan. Kemudian konotasi-konotasi yang dipakai untuk memanipulasi denotasi itu akhirnya diteguhkan sebagai denotasi baru.
Dampak Positif-Negatif Pengkonotasian Denotasi
Kacaunya denotasi dan konotasi sudah barang tentu akan memberikan dampak positif dan juga negatif. Positifnya, kalau ia berlaku pada denotasi penderitaan dikonotokasikan sebagai tabungan akhirat, kegagalan disebut sukses yang tertunda, kemiskinan dikonotasikan sebagai suratan takdir – maka masih bisa menguntungkan survivalisme para penderitanya. Mereka bertahan hidup berkat kepandaian menciptakan konotasi-konotasi, Pemerintah Indonesia selalu beruntung karena tingkat kemiskinan dan penderitaan rakyat sedahsyat apapun tak mungkin melahirkan pemberontakan total atau revolusi.
Namun, kalau yang berlaku adalah denotasi “mencuri uang Negara” dikonotasikan sebagai “jasa bagi keluarga”, “korupsi” menjadi “kelapangan peluang untuk kedermawanan sosial”, malak pabrik narkoba itu halal asal konotasinya ada prosentase untuk “pembangunan Masjid”, denotasi “uang narkoba” batal demi konotasi “pembelaan Islam” – maka kebenaran, Agama, dan denotasi apapun tak akan mengalami kehancuran – karena satu-satunya yang bisa hancur hanya kehidupan manusia. [4]
Dampak negatif yang paling memprihatinkan dari banyaknya denotatif yang konotatif adalah kalau kelak anak-cucu kita tidak tahu denotasi aslinya kata dan makna kata tersebut. Ambil saja beberapa contoh, kalau mereka anak cucu kita nanti tidak mengerti nego berasal dari negosiasi, itu tak seberapa. Namun, kalau mereka tahunya Dewa, Radja, Ratu, Wali, dll adalah grup band, bisa kacau.
[1] Muhammad Ainun Nadjib, https://www.caknun.com/2015/akal-itu-ujung-jari-tuhan/ dilihat 17 Maret 2017
[2] Muhammad Ainun Nadjib, https://www.caknun.com/2016/memahami-kedudukan-akal-dalam-islam/ dilihat 17 Maret 2017
[3] Muhammad Ainun Nadjib, https://www.caknun.com/2016/manusia-rahmatan-lilalamin/ dilihat 16 Maret 2017
[4] Emha Ainun Nadjib, Demokrasi La Roiba Fih, hlm. 129
0 comments:
Post a Comment