![]() |
Sumber gambar : m.hktdc.com |
Tinggal selama beberapa tahun di sana, ia menuliskan kisah-kisah perjalanannya ke Asia Tengah. Dari hasil perjalanannya itulah dikenal rute atau lintasan jalur sutra. Dinamakan jalur sutra karena dalam ekspedisinya Zhang Qian membawa kain sutra untuk diserahkan kepada Raja yang ditemuinya. Anehnya, penamaan jalur Sutra tidak diberikan oleh bangsa Cina sendiri, melainkan oleh ahli Geografi Jerman, Fedinand von Richtofen akhir abad ke-19.[1]
Menurut Prof. Ge Jianxiong, [2] dalam sejarahnya justru Cina sering mengabaikan rute jalur sutra. Mengapa? Karena di mata Cina, jalur sutra itu tidak penting.
Mulai dari zaman Dinasti Qin dan Han pada abad ketiga sebelum Masehi sampai akhir masa Dinasti Qing pada abad ke-19 Masehi, Cina menganggap dirinya sebagai kerajaan Tengah (Zhungguo), pusat dunia, khususnya di Asia. Mereka memandang dirinya sebagai satu-satunya kerajaan termegah di bumi, satu-satunya peradaban, dan satu-satunya sistem kebudayaan yang benar-benar memiliki arti penting bagi seluruh kehidupan manusia. [3]
Dalam sejarahnya, ada suatu konsep yang bernama Tianxia (di bawah langit) yang artinya di bawah kolong langit (Cina) semuanya tersedia, sehingga Cina tidak membutuhkan dunia luar. Bisa dilihat beberapa abad silam, Laksamana muslim Cina dari Dinasti Ming, Cheng Ho mengunjungi Nusantara bukan dalam rangka untuk berdagang, melainkan mengabarkan bahwa Cina adalah Negeri yang besar.
Prof. Ge Jianxiong menjelaskan jalur pelayaran yang sekarang disebut jalur sutra maritim itu sejatinya dimulai dan dikembangkan oleh bangsa Arab. Bahkan lintasan yang digunakan Laksamana Cheng Ho adalah lintasan yang sering digunakan oleh Bangsa Arab.
Dalam bahasa China, pedagang disebut sebagai (shang-ren, “Orang Shang”), pada mulanya, Shang-ren adalah istilah yang sangat menghina. Status mereka sebagai pedagang bahkan masih lebih rendah daripada petani.
Lantas, mengapa saat ini kita mengenal Cina sebagai bangsa pedagang?
Pemikiran Strategis, Teori dua Kubu hingga Zhungguo baru
Dalam sejarah Cina, siapa yang tidak mengenal Mao Zedong? seorang tokoh filsuf dan pendiri negara Republik Rakyat Cina. Ia memerintah sebagai Ketua Partai Komunis Cina dari berdirinya negara tersebut pada tahun 1949 sampai kematiannya pada tahun 1976.
Pengaruh Mao Zedong di RRC semasa hidupnya memang tidak dapat dibantah, kekuasaan dan dominasi Mao tidak tertandingi oleh siapapun. Oleh karena itu, bagaimana Mao memandang dunia bisa dijadikan acuan dalam memahami dunia Cina komunis.
Berdasarkan pemikirannya (konsepsi) tentang kontradiksi, pada tahun 1947, Mao membagi dunia menjadi dua kubu. Kubu sosialis dan Imperialis. Menurutnya, perdamaian antara kubu sosialis dan imperialis tidak mungkin terwujud. Imperialisme merupakan sumber terjadinya perang modern. Oleh karena itu selama Negara-negara imperialism masih ada, perdamaian tidak akan terwujud. Sikap ini ia manifestasikan dengan mendukung sepenuhnya posisi Uni Soviet dalam persoalan internasional, dan memandang Amerika adalah kekuatan imperialis yang harus dilenyapkan. [4]
Pada tahun 1964, gambaran dunia Cina secara tajam memilah dunia ke dalam dua kubu dan menolak jalan ketiga mulai mengalami pergeseran, tampak ada perubahan dalam analisis situasi Cina mengenai siapa kawan siapa lawan. Uni soviet tidak lagi dipandang sebagai sekutu abadi, sedangkan AS yang sebelumnya dianggap musuh utama kubu sosialis, sudah tidak terlalu berbahaya lagi. Berdasarkan gambaran dunia dan analisis situasi itu, Cina menjalankan srategi permusuhan kembar terhadap AS dan Uni Soviet. [5]
Deng Xiao Ping, pemimpin tertinggi partai komunis Cina setelah Mao Zedong pada tahun 1974 mengemukakan teori tiga dunia pada majelis umum PBB. Teori ini memandang dunia menjadi 3 dunia. Pertama Uni Soviet. Kedua, AS dan sekutunya, Asia, Afrika dan Amerika latin dunia ketiga. Yang cukup menonjol dalam teori ini adalah hasrat Beijing untuk tampil sebagai pemimpin dunia ketiga. [6]
Dalam ambisi mewujudkan aspirasi ini, Deng Xiao Ping lebih pragmatis daripada Mao. Mao sangat percaya kalau pembangunan Cina akan berhasil melalui strategi zili ghengseng (berdiri di atas kaki sendiri), Deng cenderung menjalankan strategi Yangwei Zhongyong (mengandalkan kemampuan luar negeri untuk kepentingan dalam negeri Cina. [7]
Selama lebih kurang 30 tahun, dari 1949 sampai dengan 1980 Cina berpaham komunis. Negara ini dikenal sebagai negara Tirai Bambu karena sifatnya yang tertutup terhadap dunia luar. Pada tahun 1980, Deng Xiao Ping sebagai pemimpin tertinggi RRC mengumumkan bahwa RRC sebagai satu negara yang memberlakukan dua sistem. Sistem Sosialis dan sistem Kapitalis. Alasan yang dikemukakan Deng Xiao Ping ialah bahwa Cina telah memiliki wilayah dengan sistem kapitalis seperti Hong Kong, Taiwan, dan Makao. Tiga wilayah tersebut telah berjalan baik, maka tidak perlu harus dijadikan sistem Sosialis. Sedangkan, sebagian lain wilayah RRC menggunakan sistem Sosialis dan sudah berjalan baik, jadi dua sistem tersebut sudah diberlakukan di Cina tanpa masalah [8]
Alasan lain, RRC yang berpaham Komunis itu selalu mendapat tekanan dari negara kapitalis, terutama Amerika Serikat. Tekanan luar negeri ini sangat merugikan bagi pembangunan RRC. Dengan memberlakukan dua sistem dalam satu negara, ia ingin menunjukkan kepada negara kapitalis bahwa Cina sebenarnya juga bisa menjadi negara kapitalis. Kapitalis atau sosialis itu hanya sistem manajemen pemerintahan dan perekonomian, bukan alasan untuk bermusuhan [9]
Salah satu kunci Cina untuk mewujudkan ”China Dream”, yang menjadi simbol kebangkitan etnis Tionghoa adalah Cina tetap menganggap Huaren dan Huaqiao (warga Cina perantauan) menjadi aset penting mengejar “China Dream” tersebut. Langkahnya adalah semua elemen Cina di manapun berada adalah “satu bangsa” melalui program cultural nationalisme.
OBOR, New Maritime Silk Road
Perkembangan Cina dengan reformasi ekonominya telah berhasil menjadi cerita pembangunan paling sukses sepanjang sejarah. Rekor-rekor ditorehkan oleh Cina, tingkat pertumbuhan tercepat dengan sembilan persen pertahun selama hampir tiga puluh tahun, dan angka penurunan kemiskinan terbesar sepanjang sejarah.
Di abad ke-21 ini, sekali lagi Jalur Sutra menjadi topik hangat di negeri Cina. Para pemimpin Republik Rakyat Cina mencetuskan konsep kerja sama internasional berdasarkan sejarah Jalur Sutra.
Pada 7 September 2013, dalam kunjungan kenegaraan di Kazakhstan, Presiden Xi Jinping mengusulkan pembangunan Sabuk Ekonomi Jalur Sutra (Silk Road Economic Belt). Berselang tiga minggu kemudian, di hadapan DPR Indonesia di Jakarta, Xi mengemukakan konsep Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 (21st Century Maritime Silk Road). Kazakhstan dan Indonesia adalah dua negara penting dalam pembangunan dua Jalur Sutra modern ini. Kedua konsep ini menjadi jargon yang didengungkan terus-menerus di Cina hari ini: One Belt One Road—Satu Sabuk dan Satu Jalur.
Berbeda dengan Jalur Sutra kuno, konsep Jalur Sutra Baru yang diusulkan Cina ini sangat kental dilandasi kepentingan ekonomi. Cina butuh pasar yang besar untuk produknya, juga memerlukan pengerjaan proyek infrastruktur besar di luar negeri untuk menggenjot perekonomiannya. Selain itu, Cina yang semakin rakus sumber energi juga memerlukan akses terhadap sumber daya alam di negara-negara lain.
Di lain pihak, ini menjadi kesempatan bagi negara lain untuk mendapatkan investasi dan alih teknologi dari Cina demi pembangunan masing-masing. Manifestasi dari program pembangunan ini di Indonesia berupa investasi yang gencar dari negeri Cina untuk proyek-proyek infrastruktur. Infrastruktur seperti proyek kereta api Jakarta-Bandung akan meningkatkan konektivitas dan meningkatkan pembangunan ekonomi di daerah antara kedua kota.
Agresivitas pinjaman oleh bank kebijakan Cina seperti Cina Development Bank dan Bank Exim ke negara-negara berkembang seperti Indonesia juga telah dipandang sebagai sebuah program untuk meningkatkan ekspor melalui perusahaan Cina yang memenangkan pekerjaan konstruksi dari negara-negara penerima. Proyek-proyek tersebut antara lain di konstruksi jalan dan pembangkit listrik, dan tentunya akan membukakan jalan untuk barang dan jasa dari Cina untuk memasuki pasar Indonesia.
Bias Konfirmasi, Trans-Papua
Lihat peta di atas. Garis biru muda & biru tua. Dari Sabang – Merauke dilalui garis tersebut. Apakah garis tersebut ada hubungannya dengan pembangunan jalan Trans-Papua? Lantas, apakah ada hubungannya dengan gaduh soal Freeport akhir-akhir ini?
![]() |
Sumber gambar : m.hktdc.com |
Lihat peta di atas. Garis biru muda & biru tua. Dari Sabang – Merauke dilalui garis tersebut. Apakah garis tersebut ada hubungannya dengan pembangunan jalan Trans-Papua? Lantas, apakah ada hubungannya dengan gaduh soal Freeport akhir-akhir ini?
Pembangunan jalan Trans-Papua merupakan proyek yang sebenarnya dimulai dari tahun 1970-an. Mulai tahun 2008, pembangunan jalan Trans-Papua digenjot hingga sepanjang 4.330,07 kilometer (km) dari Sorong sampai Merauke, melintang sejajar dengan garis batas Indonesia – Papua Nugini, yang mau tidak mau harus menerobos hutan lindung. Sisanya tinggal 300-an km lagi di rezim Jokowi.
Masyarakat adat yang melawan karena tidak setuju tanah dan alamnya dirusak dilabeli provokator atau separatis yang ingin memecah-belah bangsa. Mereka dipandang cari gara-gara dan mengancam ‘kedamaian’ dan stabilitas pembangunan nasional.
Akan selalu terjadi bias konfirmasi dalam setiap kata yang terjadi di Indonesia. Penjual dan pembeli bisa saja sama-sama menyebut kata “murah”, tetapi niat, pengertian, maksud dan tujuan menggunakan kata “murah” berbeda, sesuai kepentingan masing-masing.
Dari banyaknya konflik persoalan ruang hidup simbol nasionalis NKRI selalu menjadi tameng. Atas nama “pembangunan”, atau demi agenda “pembangunan” Negara suatu proyek harus terlaksana walaupun banyak rakyat yang dirugikan. Begitulah bahasa baru penjajahan abad modern, asalkan dibubuhi atas nama “Pembangunan” maka suatu proyek harus tetap berjalan mulus tanpa hambatan.
Nasionalisme dan Patriotisme tidak bisa menjawab secara jujur atas konflik ruang hidup yang terjadi. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah perbedaan kepentingan kelas. Perbedaan kepentingan kelas inilah yang menjadi basis materiil pecahnya konflik ruang hidup. Kepentingan kapitalis beroperasi lewat korporasi (swasta maupun milik negara) yang kebutuhan ekspansi dan akumulasi kapitalnya dijamin oleh negara.
Kalau memang proyek ini memberikan manfaat bagi peningkatan ekonomi warga lokal, lebih jauh lagi harus dilihat kembali. Berapa banyak wilayah pemukiman dan pengelolaan milik warga lokal yang dilewati atau bersentuhan langsung dengannya.
Sebab, sepertinya jalan ini hanya akan mendorong tumbuhnya eksploitasi sumber daya alam skala besar dan kemudian merusak tata ekologi fungsi hutan karena melewati sebagian besar hutan tanpa pemukiman.
Mengenai berita tentang Freeport akhir-akhir ini, serangan bertubi tubi dari pemerintah Indonesia kepada Freeport tepat disaat Freeport sedang merugi juga pemerintah AS tengah menghadapi masalah internal, pertentangan berbagai kubu yang belum tuntas sejak hasil pilpres AS lalu, yang menyebabkan kemampuan intervensi AS dalam mengamankan perusahaannya melemah. Ditambah lagi kebijakan Donal Trump yang lebih berorientasi ke dalam negeri.
Muncul pertanyaan di tengah tengah publik apakah Freeport akan berpindah tangan dari AS ke tangan Cina?
Sebagaimana nasib saudara terdekatnya, PT. Newmont Nusa Tenggara yang telah lebih dulu jatuh ke tangan Cina melalui pinjaman Cina kepada Taipan Indonesia. Hal ini tampaknya sangat mungkin untuk terjadi melihat Cina dalam posisi siap menguasai Freeport melalui tangan taipan taipan Indonesia.
Menurut Dandhy Dwi Laksono, ia mengemukakan bahwa “Mendukung tambang Freeport dikembalikan ke Indonesia, baru setengah argumen. Menjadi lengkap jika Papua dan seisinya dikembalikan kepada yang punya”
Pertanyaannya, Papua siapa yang punya?
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.[10]
Foot Note
[1] Agustinus Wibowo, Beijing 7 Juli 2015: China dan Jalur Sutra. http://agustinuswibowo.com/12299/beijing-7-juli-2015-china-dan-jalur-sutra/ diakses pada 23 Februari 2017.
[2] Ibid.,
[3] Sukma, Rizal; 1995, Pemikiran strategis Cina dari Mao Zedong ke Deng Xiao Ping. Hlm.16
[4] Ibid., hlm.36
[5] Ibid., hlm.37
[6] Ibid., hlm.40
[7] Ibid., hlm.44
[8] Dr. Oesman Arif., M.Pd, Ideologi Dan Pemerintahan : Satu Negara dengan Dua Sistem di RRT. http://www.spocjournal.com/filsafat/338-ideologi-dan-pemerintahan-satu-negara-dengan-dua-sistem-di-rrt.html / diakses pada 23 Februari 2017.
[9] Ibid.,
[10] UUD 1945 Pasal 33 ayat 3
0 comments:
Post a Comment