![]() |
Sumber : wikipedia.org |
“Habis kikisSegera cintaku hilang terbangPulang kembali aku padamuSeperti dahulu. . . . "
Bagi anda pecinta karya sastra, khususnya puisi, pasti tidak asing dengan nama Amir Hamzah. Ia dikenal sebagai "Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe". Amir mulai menulis puisi saat ia masih remaja. Meskipun karya-karyanya tidak bertanggal, yang paling awal diperkirakan telah ditulis olehnya ketika ia pertama kali melakukan perjalanan ke Jawa.
Puisi-puisi Amir sarat dengan tema cinta dan agama. Puisinya sering mencerminkan konflik batin yang mendalam. Diksi pilihannya yang menggunakan kata-kata bahasa Melayu dan bahasa Jawa memperluas struktur tradisional, menggambarkan pengaruh dari budaya Melayu, Islam, Kekristenan, dan Sastra Timur.
Amir Hamzah lahir tanggal 28 Februari 1911. Tepat hari ini, 107 tahun yang lalu, dengan nama Tengkoe Amir, di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara. Amir adalah keponakan dari Sultan Langkat. Meskipun seorang anak bangsawan, dia sering bergaul dalam lingkungan non-bangsawan.
Memasuki kelas 3 SMP, orang tua Amir mengizinkannya untuk menyelesaikan studinya di Jawa. Amir kemudian pergi ke Batavia untuk menyelesaikan studinya. Amir pergi ke Batavia sendirian, setelah tiba di Batavia, ia masuk di Christelijk MULO Menjangan, di mana ia menyelesaikan tahun SMP terakhirnya.
Setelah menyelesaikan SMP dan mudik singkat ke Sumatera, Amir melanjutkan sekolahnya ke Algemene Middelbare School (AMS, sekolah menengah atas) yang dioperasikan Boedi Oetomo di Solo, Jawa Tengah. Di sana ia mempelajari Sastra Timur dan bahasa, termasuk bahasa Jawa, Sansekerta, dan Arab.
Di Solo, Amir bergabung dengan gerakan nasionalis. Ia sering bertemu dengan sesama perantau dari Sumatera dan mendiskusikan masalah sosial rakyat Melayu Nusantara di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Meskipun pemuda berpendidikan kala itu pada umumnya lebih memilih berbicara menggunakan bahasa Belanda, dia bersikeras bercakap dengan bahasa Melayu.
Pada tahun 1931, Ibu Amir meninggal dan ayahnya setahun setelahnya. Amir ingin melanjutkan studinya ke sekolah hukum di Batavia. Namun, pendidikan Amir tidak bisa dibiayai lagi. Oleh karena itu, ia menulis kepada saudaranya, Jakfar yang mengatur agar biaya sisa studinya dibayar oleh Sultan Langkat. Pada tahun 1932 Amir mampu kembali ke Batavia dan memulai studi hukumnya.
Di periode inilah bakat sastra Amir semakin terasah. Amir menulis 50 puisi, 18 buah puisi prosa, dan berbagai karya lainnya, termasuk beberapa karya terjemahan. Pada tahun 1932 ia turut mendirikan majalah sastra Poedjangga Baroe.
Pada pertengahan 1933 Amir dipanggil kembali ke Langkat. Sultan Langkat memberitahukan dua syarat yang harus Amir penuhi untuk melanjutkan studinya, yaitu menjadi siswa yang rajin, dan meninggalkan gerakan kemerdekaan Indonesia.
Meskipun menghadapi penolakan Sultan Langkat, Amir malah terlibat lebih jauh dalam gerakan nasionalis, membawa dia ke bawah pengawasan Belanda yang semakin meningkat.
Belanda khawatir dengan kecenderungan nasionalistik Amir. Belanda meyakinkan Sultan Langkat untuk menarik dia kembali ke Langkat. Sebuah perintah yang tidak dapat ditolak oleh Amir.
Tahun 1937, Amir kembali ke Sumatera. Setelah tiba di Langkat, ia diberitahu bahwa ia akan menikah dengan putri tertua Sultan Langkat, Tengkoe Poeteri Kamiliah, seorang wanita yang hampir tak pernah ia temui sebelumnya.
Setelah menikahi Kamiliah, ia menjadi pangeran di Langkat Hilir. Amir diberi gelar Tengkoe Pangeran Indra Poetera. Pada tahun 1939 pasangan ini dikaruniai seorang putri bernama Tengkoe Tahoera.
Paska Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, keseluruhan Pulau Sumatera dinyatakan sebagai bagian de facto dari negara Republik Indonesia yang baru lahir. Pemerintah pusat menetapkan Teuku Muhammad Hasan sebagai gubernur pertama pulau Sumatera.
Pada 29 Oktober 1945, Hasan memilih Amir sebagai wakil pemerintah Republik Indonesia di Langkat (bupati), dengan kantornya di Binjai. Amir menerima posisi tersebut dengan siap sedia.
Revolusi Nasional Indonesia sedang berkobar dengan berbagai pertempuran di Jawa, dan Republik Indonesia yang baru didirikan sedang tidak stabil. Pada awal 1946, rumor menyebar di Langkat bahwa Amir telah terlihat makan bersama dengan perwakilan pemerintah Belanda yang kembali ke Sumatera.
Pada tanggal 7 Maret 1946 Amir Hamzah ditangkap oleh barisan pemuda bersenjata. Dia diangkut dengan mobil pick-up dari Istana Binjai. Para tahanan, termasuk Amir, dipaksa untuk menggali lubang dan disiksa.
Amir awalnya ditahan di sebuah rumah bekas tahanan kempetai Jepang di tepi Sungai Mencirim, Binjai. Tiga belas hari kemudian, pada pagi hari 20 Maret 1946 Amir tewas dengan leher putus tertebas. Dia dimakamkan dengan 26 orang tahanan lainnya di sebuah kuburan massal yang telah digali para tahanan tersebut.
Potongan tulisan terakhir Amir, kemudian ditemukan di selnya.
“Wahai maut, datanglah engkauLepaskan aku dari nestapaPadamu lagi tempatku berpautDisaat ini gelap gulita. . . "
Baca juga kumpulan puisi karya Amir Hamzah, 1, 2, 3, dan 4.
Sumber disarikan
dari :
0 comments:
Post a Comment