Saturday, March 10, 2018

Kemuliaan Tertinggi adalah Menjadi Diri Sendiri

Kenduri Cinta Maret 2018
Pict. By : @Islam_kita

[Catatan Majelis Masyarakat Maiyah Kenduri Cinta 9 Maret 2018 “Tuan Rumah Diri Sendiri”]. Bagi orang-orang yang mengenal Maiyah, sepertinya sudah mafhum kalau setiap Jumat Minggu kedua adalah hari raya bagi orang Maiyah di sekitar Daerah Khusus Ibu kota. Pada setiap jumat malam minggu kedua itulah diselenggarakan Majelis Masyarakat Maiyah Kenduri Cinta.

Jumat malam 9 Maret, saya datang agak terlambat ke Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Alasannya sederhana saja sebenarnya. Saya harus menemani si kecil terlelap tidur terlebih dahulu sebelum saya tinggalkan ke Kenduri Cinta. Maklum saja, si kecil ini hobinya begadang. Kalau orang tuanya belum tidur, ia juga tidak mau tidur. Mungkin karena dari mulai bulan pertama dalam kandungan sampai 7 bulan dalam kandungan tidak pernah absen di kenduri Cinta dan baru pulang setelah selesai acara yakni pukul 4 pagi.

Saya berangkat dari rumah kontrakan di Jl. Alternatif Cibubur arah Cileungsi pukul 22:00. Jalanan lumayan padat. Sempat terkena macet di sekitar Jalan Raya Lap. Tembak. Keluar di Jalan Raya Jakarta – Bogor jalan sedikit agak lengang tidak sperti biasanya. Kulajukan sepeda motorku. Cepat namun tetap terukur. Tiba di Perempatan Pasar Rebo, gampang kita temui pemandangan khas jalanan Ibu kota. Serobot lampu merah, motor melaju melawan arus dan parkir kendaraan sekenanya. Cukup kacau pokoknya.

Sampai di Ragunan, saya menyempatkan berhenti sebentar. Ku tengok jarum jam di tangan kiriku menunjuk pukul 22:35. Lantas, tancap gas lagi. Jalanan Ragunan – Menteng lancar. Tidak seperti biasanya. “lho, kok lancar” gumamku dalam hati. Padahal saya penginnya macet. “Orang Indonesia itu sangking seringnya menderita karena macet, tidak macet itu ternyata membuat kita rindu untuk macet”, begitu seloroh Mbah Nun kala itu.

Sampai di depan pelataran Taman Ismail Marzuki pukul 23:05. Mas-mas tukang parkir berteriak lantang di depan pintu masuk. “ Parkir Cak Nun, Parkir Cak Nun” sambil menunjuk tempat parkir ‘ilegal’ yang mereka sediakan. Seperti biasanya, saya lebih memilih masuk ke Taman Ismail Marzuki, parkir dengan cara yang agak ‘resmi’.

Jamaah membludak. Namun, tidak sebanyak waktu ada Kiai Kanjeng. Kedatanganku disambut musik oleh talent yang mengisi Kenduri Cinta. Saya parkir motor agak jauh dari panggung. Melipir lewat teras Galeri Cipta II menuju belakang panggung.

Rencana saya menyambut dan ‘mengawal’ Mbah Nun dari sebrang Hotel Alya seperti KC-KC biasanya. Tapi tidak kesampaian. Beliau sudah terlebih dahulu duduk di panggung.

Kenduri Cinta Maret 2018

Saya duduk di belakang panggung. Sambil menunggu kawan karib saya, Dadan Kusnandar. Dia ini sudah ke-4 kalinya hadir di Kenduri Cinta berturut-turut sejak saya ajak bulan Desember lalu. Ada serombongan bapak-bapak duduk di samping kanan saya. Mereka menanyakan ada acara apa gerangan kok banyak pemuda-pemuda kumpul. Saya jawab sekenanya, “acara Cak Nun”.

“Hooo, Cak Nuuun”, katanya.

Kalau saya lihat dari bordiran di kaos seragamnya, mungkin mereka, bapak-bapak ini dari sebuah  instansi Negara. Mungkin, Polisi. Bisa jadi saya salah. Sebab, banyak juga yang memakai kaos dengan bordiran lambang partai segitiga ‘mercy’ mantan presiden dahulu.

Saya coba iseng-iseng tanya,” Ini rombongan dari mana Pak”?

“Dari Banyuwangi, mas.” Seorang bapak yang berbadan besar tegap dengan rambut dikuncir menjawab.

“Ada acara apa di sini?”

“Ada acara organisasi”

Dari arah panggung terdengar suara talent perempuan murottal “Qulhu”. Gak biasanya ada talent murotal Qulhu di Kenduri Cinta. Lalu ditutup Shodaqollahul adzim.

Denting gitar mulai berbunyi. Suara vokalis laki-laki bernyanyi duet dengan suara perempuan yang murottal tadi. Baru saya tahu, kalau penyanyi laki-laki tersebut adalah Dik Doang. Dari belakang panggung suaranya mirip dengan suara Mbah Nun.

Si Bapak-bapak yang lain di samping saya bertanya nama acaranya apa. Saya jawab Kenduri Cinta.

“Kok bisa dinamai Kenduri Cinta?” kata bapak berbadan besar tegap dengan rambut dikuncir tadi.
Saya jawab sebisanya saja. “Wah, panjang Pak ceritanya, dari tahun 2000. Kenduri Cinta itu lagu kemesraan yang bernama kasih sayang kemanusiaan. Kalau di skala Negara bisa disebut Nasionalisme.” Sang bapak mengangguk-angguk, tapi nampak jelas raut mukanya bengong seperti orang tidak mengerti.

Lagu kedua, saya masih  di belakang panggung bersama kawan karib saya yang sudah datang. Lagu ketiga, pukul 23:43, Syiir tanpo waton. “Ya Rasulllah salamum ‘alaik . . .”. Di tengah-tengah  syiir tanpo waton, jamaah diminta berdiri mendendangkan sholawat kepada Baginda nabi Muhammad SAW.

Kenduri Cinta Maret 2018

Selesai syiir tanpo waton, sesi dipersilakan full sepenuhnya untuk Mbah Nun. Kami (saya dan Dadan) berpindah. Duduk di tengah-tengah kerumunan jamaah, dekat dengan mesin ATM.

Di awal, berkait dengan tema Kenduri Cinta “Tuan Rumah Diri Sendiri” beliau menjelaskan tentang konsep “manusia ruang dan perabot”.

Manusia ruang adalah manusia yang menampung, menyediakan udara dan mempersilakan perabot-perabot mengisi dan bernapas di dalamnya.

“Jadilah manusia ruang bukan manusia perabot. Anda harus menjadi tuan rumah dari perabot-perabot itu. Ruang itu menampung, tuan rumah, prinsipnya menerima bukan menuntut. Seperti kaum Anshar yang menerima kaum Muhajirin.”

“Semua manusia butuh ruang, semua makhluk hidup butuh ruang dan waktu, pemikiran modern hanya sampai di sini. Perabot butuh ruang, sedangkan materi butuh rohani, materi akan penuh jika diisi terus namun rohani tidak akan pernah penuh.”

Lebih diperjelas lagi beliau mengemukakan, “manusia ruang itu berprinsip sedekah (siddiq). Sedekah itu lebih luas dari memberi, yakni menjaga keseimbangan. Ada anak yatim ditampung. Gunanya sedekah adalah menyeimbangkan keadaan.”

Beliau mengelaborasi lebih jauh tentang ruang, memberi contoh bahwa, “Penyakit itu ada yg muncul karena dikasih ruang”, katanya. “Kalau dirimu penuh oleh Allah, rohaniah, selamat anda. Allah menjadi bagian dalam dirimu.” Jadi, Tuan rumah diri sendiri adalah bagaimana cara kita untuk menghambakan diri kepada Allah.

Dalam tema KC “Tuan Rumah Diri Sendiri” ini sangat erat kaitannya dengan kedaulatan. Beliau mengingatkan jamaah bahwa kita harus berdaulat kepada diri kita sendiri, termasuk kepada makanan. Nyambung dengan term manusia ruang dan perabot tadi, bahwa penyakit itu jangan dikasih ruang, makanya jangan banyak makan.  Tirulah seperti Rasullullah, makanlah ketika lapar, berhentilah sebelum kenyang.

Pedagang kopi Madura membelah kerumunan, cuaca langit Taman Ismail Marzuki sedikit mendung. Pukul 00:40, angin semilir berhembus membelai kerumunan. Suara guntur menggelegar dari agak kejauhan.

Mbah Nun menanyai jamaah, adakah jamaah yang beragama Katolik, Hindu dan Budha. Yang merasa pun mengcaungkan tangannya. Beliau lalu berseloroh kepada jamah yang lain, “tenan sampeyan muslim?”

Muslim itu orang yang selamat di hadapan Allah. Lebih luas lagi, Muslim itu urusannya dua, identitas dan kualitas. Kalau identitas, gampang. Tinggal dilihat KTP-nya, oh, Islam. Namun, kalau soal kualitas -beliau lalu mengulangi lagi kata-kata yang dulu pernah di omongkan di Kenduri Cinta-, “Muslim atau bukan itu hak prerogatif Allah yang menentukan.” “Di Maiyah ini semua orang diterima, tidak hanya orang, bahkan semuanya. Kita tampung semua”.

Pukul 00:58, Mbah nun mempersilakan Dik Doang untuk tampil menghibur jamaah. Musik pun berbunyi. Pasukan pembawa kotak kencleng mulai merangsek masuk ke lingkaran jamaah. Lutfi, penggiat pembawa kotak kencleng melintas di depan saya. Ia jelas mengenali wajah saya. Ia tersenyum mungkin heran, kok saya ada di tengah-tengah lingkaran jamaah. Seharusnya kan ikut tugas kencleng juga.

Di tengah Dik Doang menyanyi, gerimis tipis mulai turun. Jamaah belingsatan. Terpal / alas yang tadinya jadi tempat duduk, sekarang berubah jadi di atas kepala.  Uniknya di Maiyah, meskipun hujan turun jamaah tidak ada yang pulang. Dengan kreatifnya apapun saja dijadikan pelindung untuk menutupi badan mereka agar tidak terguyur hujan.
Kenduri Cinta Maret 2018
Ketua KC yang baru, Fahmi Agustian, menyidak lapangan sehabis gerimis tipis
Sehabis Dik Doang menyanyi, Mbah Nun mempersilakan putra sulung tercinta, Noe alias Sabrang untuk berbicara. Sabrang menjelaskan tentang sebuah penelitian antara komunitas sekuler dan komunitas relijius. Di dalam hasil penelitian tersebut, ternyata komunitas sekuler lebih kaya-kaya dibanding dengan komunitas yang relijius. Namun, komunitas relijius jauh lebih bahagia dari pada komunitas yang sekuler. Dapat ditarik kesimpulan, ternyata kaya itu tidak sama dengan bahagia.

Hujan tak kunjung reda. Jamaah berteduh. Ada yang dengan payung, ada yang dengan ponco, yang paling banyak memang dengan alas atau tikar. Saya dan Dadan bergeming. Tak beranjak. Masih duduk di tempat semula. Pakaian basah kuyup. Maaf, celana dalam pun sampai ikut basah oleh aliran air hujan. Kami jelas tidak takut hujan, yang kami takutkan adalah tidak membaca doa saat hujan turun. Ini adalah cara kami berdaulat kepada diri sendiri.

Kenduri Cinta Maret 2018
Pict. By : Suryadi. Edit By :  Dadan Kusnandar
Usai Sabrang berbicara, Mbah Nun mengatakan “Ternyata kita diuji oleh Allah dengan hujan untuk saling membagi ruang satu sama lain.” Nyess.. Selalu tepat dan mengena diksi yang dipilih beliau saat berbicara. Pas dengan tema “Tuan Rumah Diri Sendiri”. Maklum saja beliau, Penyair.

Beliau menekankan kepada jamaah Maiyah bahwa yang paling pertama dan utama, “Anda harus menjadi ruang, sebisanya. Nanti anda yang akan menguasai perabot-perabot. Meskipun Anda tidak terlalu menikmati, tapi anda merangkum semuanya itu dalam cintamu”.

Pukul 02:28, Mbah Nun menyilakan Beben Jazz & Dik Doang untuk tampil. Saya tidak begitu mendengarkan. Air yang merembes di pori-pori pakaian saya ternyata membuat saya cukup menggigil. Kawanku, Dadan malah mengeluhkan sepertinya masuk angin, padahal saya yang belum makan.

Kenduri Cinta Maret 2018

Hujan sudah usai dari tadi, jamaah berserak ada yang duduk, ada yg berdiri merapat ke depan panggung, ada yang bertengger di atas mobil Damkar. Semuanya mengisi ruang yang ada. Langit cerah lagi setelah hujan tadi. Beben Jazz feat Dik Doang nyanyi lagu 'digoda bencong' lalu dilanjutkan dengan lagu ‘Bu Endang’.

Selesai Lagu ‘Bu Endang’, Mbah Nun omong-omong tentang kurikulum pendidikan negeri kita tercinta. Mbah Nun menjelaskan bahwa kurikulum kita tidak peduli pada Qadha dan Qodar. Setiap anak, atau semua anak diajari kurikulum yang sama. Padahal setiap orang adalah unik. Berbeda satu dengan yag lain. Meskipun nanti ada fakultas-fakultas, tapi orang-orang sekarang memilih fakultas “hanya” yang menguntungkan mereka secara duniawi.

Beliau menegaskan lagi kepada Jamaah Maiyah, “kecenderungan anda itu apa,  dicari senangnya apa dan bakatnya apa. Temukan dirimu kembali”. Nanti kerja apa saja Ndak masalah, di maiyah ini tidak ada feodalisme seperti di luar sana. “Yang diukur Tuhan itu perilakumu”. Tandas Mbah Nun.

Kemuliaan tertinggi di depan Allah adalah menjadi diri sendiri tergantung Qadha dan Qodar Anda.

Beliau mengingatkan, bahwa di luar sana ada term Negara dunia pertama, dunia kedua dan dunia ketiga. Kita meyakini Indonesia adalah Negara dunia ketiga. 10 tahun lagi, diprediksi Amerika Serikat dan Eropa akan turun kasta menjadi Negara dunia kedua. Asia Pasifik akan menjadi Negara dunia pertama. Sedangkan Afrika dan Amerika Latin akan tetap menjadi Negara dunia ketiga.

Jamaah yang berada di sekitar pohon dekat panggung tepuk tangan.

“Sik Rek, ojo tepuk tangan sik. Sepuluh tahun yang akan datang ini anda akan jadi Bos atau Jongos?” beliau bertanya. Lalu dilanjutkan dengan kalimat, “Kalau Anda tidak belajar menjadi tuan rumah diri sendiri, maka anda akan menjadi jongos dari pemimpin Asia Pasifik tersebut”. Dalam hal ini yakni RRC, Republik Rakyat Ciongkok?

Nasehat-nasehat dari Mbah Nun mengucur deras kepada Jamaah Kenduri Cinta, “Kalau anda mencari kebahagiaan, efeknya adalah uang. Meski bisa jadi kaya ataupun tidak. Kalau Anda cari uang, anda belum tentu bahagia”. “Kalau Anda menjadi diri sendiri, Allah akan menanggung Anda”. Beliau menganalogikan dengan Analogi ayam, “kalau ayam temen, beneran menjadi ayam, maka dia tidak akan kelaparan”.

Mbah Nun mendoakan jamaah untuk menjadi pemimpin 10 tahun ke depan yang diamini oleh jamaah maiyah. Yang menjadi ciri khas dari beliau adalah, di mana-mana, beliau selalu membesarkan hati orang-orang, khususnya jamaah Maiyah.

Hari sudah lingsir mendekati Shubuh. Gelas rohani tidak bisa diisi dengan waktu berapapun. Pukul setengah 4 tepat, Majelis Masyarakat Maiyah Kenduri Cinta diakhiri dengan indal qiyam. Jamaah diminta memejamkan mata, lalu mengucapkan Sholawat kepada Baginda Nabi di dalam hati. Lalu ditutup dengan wirid pelipur lara.

Allahu Allahu
Allahu Allahu
Ya Rabbi shalli ‘alal
Mukhtar thibbil qulub . . .
Location: Jalan Cikini Raya No.73, RT 08 / RW 02, Cikini, Menteng, RT.8/RW.2, RT.8/RW.2, Cikini, Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10330, Indonesia

0 comments:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html