![]() |
Pict. By : @Islam_kita |
[Catatan Majelis Masyarakat Maiyah Kenduri Cinta 9 Maret
2018 “Tuan Rumah Diri Sendiri”]. Bagi orang-orang yang mengenal Maiyah, sepertinya
sudah mafhum kalau setiap Jumat Minggu kedua adalah hari raya bagi orang Maiyah
di sekitar Daerah Khusus Ibu kota. Pada setiap jumat malam minggu kedua itulah
diselenggarakan Majelis Masyarakat Maiyah Kenduri Cinta.
Jumat malam 9 Maret, saya datang agak terlambat ke
Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Alasannya sederhana saja
sebenarnya. Saya harus menemani si kecil terlelap tidur terlebih dahulu sebelum
saya tinggalkan ke Kenduri Cinta. Maklum saja, si kecil ini hobinya begadang. Kalau
orang tuanya belum tidur, ia juga tidak mau tidur. Mungkin karena dari mulai
bulan pertama dalam kandungan sampai 7 bulan dalam kandungan tidak pernah absen
di kenduri Cinta dan baru pulang setelah selesai acara yakni pukul 4 pagi.
Saya berangkat dari rumah kontrakan di Jl.
Alternatif Cibubur arah Cileungsi pukul 22:00. Jalanan lumayan padat. Sempat
terkena macet di sekitar Jalan Raya Lap. Tembak. Keluar di Jalan Raya Jakarta –
Bogor jalan sedikit agak lengang tidak sperti biasanya. Kulajukan sepeda
motorku. Cepat namun tetap terukur. Tiba di Perempatan Pasar Rebo, gampang kita
temui pemandangan khas jalanan Ibu kota. Serobot lampu merah, motor melaju
melawan arus dan parkir kendaraan sekenanya. Cukup kacau pokoknya.
Sampai di Ragunan, saya menyempatkan berhenti
sebentar. Ku tengok jarum jam di tangan kiriku menunjuk pukul 22:35. Lantas,
tancap gas lagi. Jalanan Ragunan – Menteng lancar. Tidak seperti biasanya.
“lho, kok lancar” gumamku dalam hati. Padahal saya penginnya macet. “Orang
Indonesia itu sangking seringnya menderita karena macet, tidak macet itu
ternyata membuat kita rindu untuk macet”, begitu seloroh Mbah Nun kala itu.
Sampai di depan pelataran Taman Ismail Marzuki
pukul 23:05. Mas-mas tukang parkir berteriak lantang di depan pintu masuk. “
Parkir Cak Nun, Parkir Cak Nun” sambil menunjuk tempat parkir ‘ilegal’ yang
mereka sediakan. Seperti biasanya, saya lebih memilih masuk ke Taman Ismail
Marzuki, parkir dengan cara yang agak ‘resmi’.
Jamaah membludak. Namun, tidak sebanyak waktu ada
Kiai Kanjeng. Kedatanganku disambut musik oleh talent yang mengisi Kenduri Cinta. Saya parkir motor agak jauh dari
panggung. Melipir lewat teras Galeri Cipta II menuju belakang panggung.
Rencana saya menyambut dan ‘mengawal’ Mbah Nun dari
sebrang Hotel Alya seperti KC-KC biasanya. Tapi tidak kesampaian. Beliau sudah
terlebih dahulu duduk di panggung.
Saya duduk di belakang panggung. Sambil menunggu
kawan karib saya, Dadan Kusnandar. Dia ini sudah ke-4 kalinya hadir di Kenduri
Cinta berturut-turut sejak saya ajak bulan Desember lalu. Ada serombongan
bapak-bapak duduk di samping kanan saya. Mereka menanyakan ada acara apa
gerangan kok banyak pemuda-pemuda kumpul. Saya jawab sekenanya, “acara Cak Nun”.
“Hooo, Cak Nuuun”, katanya.
Kalau saya lihat dari bordiran di kaos seragamnya, mungkin
mereka, bapak-bapak ini dari sebuah instansi Negara. Mungkin, Polisi. Bisa jadi
saya salah. Sebab, banyak juga yang memakai kaos dengan bordiran lambang partai
segitiga ‘mercy’ mantan presiden dahulu.
Saya coba iseng-iseng tanya,” Ini rombongan dari
mana Pak”?
“Dari Banyuwangi, mas.” Seorang bapak yang berbadan
besar tegap dengan rambut dikuncir menjawab.
“Ada acara apa di sini?”
“Ada acara organisasi”
Dari arah panggung terdengar suara talent perempuan murottal “Qulhu”. Gak biasanya ada talent murotal Qulhu di Kenduri Cinta. Lalu ditutup Shodaqollahul
adzim.
Denting gitar mulai berbunyi. Suara vokalis
laki-laki bernyanyi duet dengan suara perempuan yang murottal tadi. Baru saya
tahu, kalau penyanyi laki-laki tersebut adalah Dik Doang. Dari belakang
panggung suaranya mirip dengan suara Mbah Nun.
Si Bapak-bapak yang lain di samping saya bertanya nama
acaranya apa. Saya jawab Kenduri Cinta.
“Kok bisa dinamai Kenduri Cinta?” kata bapak
berbadan besar tegap dengan rambut dikuncir tadi.
Saya jawab sebisanya saja. “Wah, panjang Pak
ceritanya, dari tahun 2000. Kenduri Cinta itu lagu kemesraan yang bernama kasih
sayang kemanusiaan. Kalau di skala Negara bisa disebut Nasionalisme.” Sang bapak
mengangguk-angguk, tapi nampak jelas raut mukanya bengong seperti orang tidak
mengerti.
Lagu kedua, saya masih di belakang panggung bersama kawan karib saya
yang sudah datang. Lagu ketiga, pukul 23:43, Syiir tanpo waton. “Ya Rasulllah
salamum ‘alaik . . .”. Di tengah-tengah syiir tanpo waton, jamaah diminta berdiri
mendendangkan sholawat kepada Baginda nabi Muhammad SAW.
Selesai syiir tanpo waton, sesi dipersilakan full sepenuhnya
untuk Mbah Nun. Kami (saya dan Dadan) berpindah. Duduk di tengah-tengah kerumunan jamaah, dekat dengan mesin ATM.
Di awal, berkait dengan tema Kenduri Cinta “Tuan Rumah Diri
Sendiri” beliau menjelaskan tentang konsep “manusia ruang dan perabot”.
Manusia ruang adalah manusia yang menampung,
menyediakan udara dan mempersilakan perabot-perabot mengisi dan bernapas di
dalamnya.
“Jadilah manusia ruang bukan manusia perabot. Anda
harus menjadi tuan rumah dari perabot-perabot itu. Ruang itu menampung, tuan
rumah, prinsipnya menerima bukan menuntut. Seperti kaum Anshar yang menerima
kaum Muhajirin.”
“Semua manusia butuh ruang, semua makhluk hidup
butuh ruang dan waktu, pemikiran modern hanya sampai di sini. Perabot butuh
ruang, sedangkan materi butuh rohani, materi akan penuh jika diisi terus namun
rohani tidak akan pernah penuh.”
Lebih diperjelas
lagi beliau mengemukakan, “manusia ruang itu berprinsip sedekah (siddiq).
Sedekah itu lebih luas dari memberi, yakni menjaga keseimbangan. Ada anak yatim
ditampung. Gunanya sedekah adalah menyeimbangkan keadaan.”
Beliau mengelaborasi lebih jauh tentang
ruang, memberi contoh bahwa, “Penyakit itu ada yg muncul karena dikasih ruang”,
katanya. “Kalau dirimu penuh oleh Allah, rohaniah, selamat anda. Allah menjadi
bagian dalam dirimu.” Jadi, Tuan rumah diri sendiri adalah bagaimana cara kita
untuk menghambakan diri kepada Allah.
Dalam tema KC “Tuan Rumah Diri Sendiri” ini sangat
erat kaitannya dengan kedaulatan. Beliau mengingatkan jamaah bahwa kita harus
berdaulat kepada diri kita sendiri, termasuk kepada makanan. Nyambung dengan term manusia ruang dan
perabot tadi, bahwa penyakit itu jangan dikasih ruang, makanya jangan banyak
makan. Tirulah seperti Rasullullah, makanlah
ketika lapar, berhentilah sebelum kenyang.
Pedagang kopi Madura membelah kerumunan, cuaca
langit Taman Ismail Marzuki sedikit mendung. Pukul 00:40, angin semilir berhembus
membelai kerumunan. Suara guntur menggelegar dari agak kejauhan.
Mbah Nun menanyai jamaah, adakah jamaah yang
beragama Katolik, Hindu dan Budha. Yang merasa pun mengcaungkan tangannya. Beliau
lalu berseloroh kepada jamah yang lain, “tenan sampeyan muslim?”
Muslim itu orang yang selamat di hadapan Allah. Lebih
luas lagi, Muslim itu urusannya dua, identitas dan kualitas. Kalau identitas,
gampang. Tinggal dilihat KTP-nya, oh, Islam. Namun, kalau soal kualitas -beliau
lalu mengulangi lagi kata-kata yang dulu pernah di omongkan di Kenduri Cinta-, “Muslim
atau bukan itu hak prerogatif Allah yang menentukan.” “Di Maiyah ini semua
orang diterima, tidak hanya orang, bahkan semuanya. Kita tampung semua”.
Pukul 00:58, Mbah nun mempersilakan Dik Doang untuk
tampil menghibur jamaah. Musik pun berbunyi. Pasukan pembawa kotak kencleng
mulai merangsek masuk ke lingkaran jamaah. Lutfi, penggiat pembawa kotak
kencleng melintas di depan saya. Ia jelas mengenali wajah saya. Ia tersenyum
mungkin heran, kok saya ada di tengah-tengah lingkaran jamaah. Seharusnya kan
ikut tugas kencleng juga.
Di tengah Dik Doang menyanyi, gerimis tipis mulai
turun. Jamaah belingsatan. Terpal / alas yang tadinya jadi tempat duduk,
sekarang berubah jadi di atas kepala. Uniknya di Maiyah, meskipun hujan turun jamaah
tidak ada yang pulang. Dengan kreatifnya apapun saja dijadikan pelindung untuk
menutupi badan mereka agar tidak terguyur hujan.
![]() |
Ketua KC yang baru, Fahmi Agustian, menyidak lapangan sehabis gerimis tipis |
Sehabis Dik Doang menyanyi, Mbah Nun mempersilakan
putra sulung tercinta, Noe alias Sabrang untuk berbicara. Sabrang menjelaskan
tentang sebuah penelitian antara komunitas sekuler dan komunitas relijius. Di dalam
hasil penelitian tersebut, ternyata komunitas sekuler lebih kaya-kaya dibanding
dengan komunitas yang relijius. Namun, komunitas relijius jauh lebih bahagia
dari pada komunitas yang sekuler. Dapat ditarik kesimpulan, ternyata kaya itu
tidak sama dengan bahagia.
Hujan tak kunjung reda. Jamaah berteduh. Ada yang
dengan payung, ada yang dengan ponco, yang paling banyak memang dengan alas
atau tikar. Saya dan Dadan bergeming. Tak beranjak. Masih duduk di tempat
semula. Pakaian basah kuyup. Maaf, celana dalam pun sampai ikut basah oleh
aliran air hujan. Kami jelas tidak takut hujan, yang kami takutkan adalah tidak
membaca doa saat hujan turun. Ini adalah cara kami berdaulat kepada diri
sendiri.
![]() |
Pict. By : Suryadi. Edit By : Dadan Kusnandar |
Usai Sabrang berbicara, Mbah Nun mengatakan “Ternyata
kita diuji oleh Allah dengan hujan untuk saling membagi ruang satu sama lain.” Nyess..
Selalu tepat dan mengena diksi yang dipilih beliau saat berbicara. Pas dengan
tema “Tuan Rumah Diri Sendiri”. Maklum saja beliau, Penyair.
Beliau menekankan kepada jamaah Maiyah bahwa yang
paling pertama dan utama, “Anda harus menjadi ruang, sebisanya. Nanti anda yang
akan menguasai perabot-perabot. Meskipun Anda tidak terlalu menikmati, tapi
anda merangkum semuanya itu dalam cintamu”.
Pukul 02:28, Mbah Nun menyilakan Beben Jazz & Dik
Doang untuk tampil. Saya tidak begitu mendengarkan. Air yang merembes di
pori-pori pakaian saya ternyata membuat saya cukup menggigil. Kawanku, Dadan
malah mengeluhkan sepertinya masuk angin, padahal saya yang belum makan.
Hujan sudah usai dari tadi, jamaah berserak ada yang
duduk, ada yg berdiri merapat ke depan panggung, ada yang bertengger di atas
mobil Damkar. Semuanya mengisi ruang yang ada. Langit cerah lagi setelah hujan tadi.
Beben Jazz feat Dik Doang nyanyi lagu 'digoda bencong' lalu dilanjutkan dengan
lagu ‘Bu Endang’.
Selesai Lagu ‘Bu Endang’, Mbah Nun omong-omong
tentang kurikulum pendidikan negeri kita tercinta. Mbah Nun menjelaskan bahwa
kurikulum kita tidak peduli pada Qadha dan Qodar. Setiap anak, atau semua anak
diajari kurikulum yang sama. Padahal setiap orang adalah unik. Berbeda satu
dengan yag lain. Meskipun nanti ada fakultas-fakultas, tapi orang-orang sekarang
memilih fakultas “hanya” yang menguntungkan mereka secara duniawi.
Beliau menegaskan lagi kepada Jamaah Maiyah, “kecenderungan
anda itu apa, dicari senangnya apa dan
bakatnya apa. Temukan dirimu kembali”. Nanti kerja apa saja Ndak masalah, di maiyah ini tidak ada
feodalisme seperti di luar sana. “Yang diukur Tuhan itu perilakumu”. Tandas Mbah
Nun.
Kemuliaan tertinggi di depan Allah adalah menjadi
diri sendiri tergantung Qadha dan Qodar Anda.
Beliau mengingatkan, bahwa di luar sana ada term
Negara dunia pertama, dunia kedua dan dunia ketiga. Kita meyakini Indonesia
adalah Negara dunia ketiga. 10 tahun lagi, diprediksi Amerika Serikat dan Eropa
akan turun kasta menjadi Negara dunia kedua. Asia Pasifik akan menjadi Negara
dunia pertama. Sedangkan Afrika dan Amerika Latin akan tetap menjadi Negara dunia
ketiga.
Jamaah yang berada di sekitar pohon dekat panggung
tepuk tangan.
“Sik Rek, ojo tepuk tangan sik. Sepuluh tahun yang
akan datang ini anda akan jadi Bos atau Jongos?” beliau bertanya. Lalu dilanjutkan
dengan kalimat, “Kalau Anda tidak belajar menjadi tuan rumah diri sendiri, maka
anda akan menjadi jongos dari pemimpin Asia Pasifik tersebut”. Dalam hal ini
yakni RRC, Republik Rakyat Ciongkok?
Nasehat-nasehat dari Mbah Nun mengucur deras kepada
Jamaah Kenduri Cinta, “Kalau anda mencari kebahagiaan, efeknya adalah uang.
Meski bisa jadi kaya ataupun tidak. Kalau Anda cari uang, anda belum tentu
bahagia”. “Kalau Anda menjadi diri sendiri, Allah akan menanggung Anda”. Beliau
menganalogikan dengan Analogi ayam, “kalau ayam temen, beneran menjadi ayam, maka dia tidak akan kelaparan”.
Mbah Nun mendoakan jamaah untuk menjadi pemimpin 10
tahun ke depan yang diamini oleh jamaah maiyah. Yang menjadi ciri khas dari
beliau adalah, di mana-mana, beliau selalu membesarkan hati orang-orang,
khususnya jamaah Maiyah.
Hari sudah lingsir mendekati Shubuh. Gelas rohani tidak
bisa diisi dengan waktu berapapun. Pukul setengah 4 tepat, Majelis Masyarakat
Maiyah Kenduri Cinta diakhiri dengan indal qiyam. Jamaah diminta memejamkan
mata, lalu mengucapkan Sholawat kepada Baginda Nabi di dalam hati. Lalu ditutup
dengan wirid pelipur lara.
Allahu AllahuAllahu AllahuYa Rabbi shalli ‘alalMukhtar thibbil qulub . . .
0 comments:
Post a Comment