![]() |
Emha Ainun Nadjib |
-Repost tulisan di caknun.com yang dimuat tanggal
26 Oktober 2017-
Rama Guru Kahfiyah Emha Ainun Nadjib. Membaca buku Suluk Pesisiran, buku yang berisi 10
suluk dari 41 suluk Cirebonan yang dipuitisasi oleh Mbah Nun, saya menemukan
khasanah-khasanah ilmu yang sering dipakai di Maiyahan. Misalnya dalam Suluk
Gedhong, tentang Kun! Maka ‘berlangsunglah’ segala yang ada di alam semesta.
Saya juga jadi teringat sebuah Pengguron di sebelah
timur Keraton Kanoman, yang pada mulanya dibentuk oleh putra mahkota Sultan
Kanoman I, yang lebih memilih menepi untuk menghindari kekuatan Kumpeni yang
sudah masuk ke wilayah keraton. Semacam lijdelijk verzet, atau melakukan
perlawanan diam-diam dengan tujuan memperkuat ketahanan budaya Cirebon serta
untuk memperdalam agama Islam, khususnya melestarikan ajaran tasawuf Syatariah.
Pengguron atau tempat belajar ini dibimbing oleh seorang
Rama Guru, kalau dalam tarekat disebut Mursyid. Corak ajaran tasawuf dari
Pengguron ini adalah Wahdat al wujud, di mana Tuhan dipandang sebagai
satu-satunya wujud dalam arti yang sebenarnya.
Pengguron ini berbeda dengan pondok pesantren yang
mewajibkan santri mondok atau menetap dalam menuntut ilmu. Orang-orang datang,
membawa niat dan persoalan masing-masing, menginap satu-dua malam lalu pulang.
Sedikit banyaknya Pengguron ini punya andil ketika
terjadi kerusuhan besar di Cirebon yang puncaknya pada tahun 1816. Kaum petani
yang sebelumnya ditindas dan dilemahkan oleh tuan tanah Tionghoa, lalu dikenai
beban pajak yang sangat tinggi di zaman Raffles, melawan dengan dikomandoi oleh
golongan Ulama. Sayang perang besar ini jarang orang yang tahu, seperti
tersembunyi atau sengaja disembunyikan, padahal bila dilihat dari lamanya
waktu, berlangsungnya perang tersebut lebih lama daripada perang Diponegoro
yang terjadi sembilan tahun kemudian.
Berkaitan dengan pengguron tersebut saya kira
polanya mirip dengan Maiyah. Kalau dilihat dari segi jamaahnya, jamaah Maiyah
juga tidak tinggal menetap seperti pondok pesantren, tetapi datang dari
berbagai penjuru ke acara-acara Maiyahan dan setelah selesai langsung bubar
jalan.
Seperti halnya Pengguron tadi, Maiyah memilih
menepi, mengambil jarak dan menyingkir dari pusat kekuasaan. Sejak awal Maiyah
sebagai organisme menegaskan tidak akan berkembang dan memadat menjadi sebuah
organisasi, tidak berafiliasi dengan kelompok-kelompok kepentingan manapun,
apalagi akan menjadi partai politik untuk ikut dalam pemilu 2019.
Maiyah hanya menjadi Pengguron, tempat belajar atau
sebuah majelis ilmu untuk mengembangkan pola dan cara berpikir. Kalau menurut
pandangan subjektif saya, Maiyah sebagai gerakan konter kultur terhadap arus zaman.
Contoh salah satunya, di tengah derasnya arus media sosial yang meniadakan pola
komunikasi bertatap muka, Maiyah tetap konsisten melakukan muwajjahah. Coba
tengok misalnya Kenduri Cinta di Jakarta yang sudah berlangsung selama 17
tahun, atau Padhang Bulan yang jauh lebih lama dari Kenduri Cinta, tradisi
bertatap muka dalam berdialog dan berdiskusi terpelihara dengan baik sampai
sekarang.
Jadi wajar bila di suatu simpul Maiyah, jamaah
dilarang melakukan perekaman video baik online maupun offline, karena akan
mengurangi esensi dari bertatap muka dan juga dikhawatirkan akan terjadi
kesalahpahaman. Sebab, ada nuansa yang berbeda jika kita melihat dan mengalami
peristiwa secara langsung dibanding dengan melihat lewat video. Apalagi video
tersebut memang sengaja dipotong-potong, diadu dengan pernyataan Ulama ini dan
Ulama itu demi meningkatkan viewers dan mendapat lebih banyak lembaran dollar.
Dari sekian persamaan tadi, ada juga perbedaannya.
Pertama, skala wilayah Maiyah lebih luas, tidak hanya di daerah tertentu saja,
bahkan ada juga simpul Maiyah di Korea Selatan. Kedua, ruang lingkup
pembahasannya pun tidak melulu soal tasawuf, apa lagi perdebatan tentang
halal-haram. Mulai dari perkembangan IT sampai konsep bernegara tidak luput
dari pembahasan Maiyah. Ketiga, tidak ada landasan baik secara akademis maupun
non-akademis untuk mengaitkan antara gerakan jamaah maiyah yang “dibimbing”
oleh Mbah Nun dengan gagasan pemikiran yang berkembang dalam sufisme.
Mbah Nun sendiri secara formal bukan anggota
tarekat tertentu, tetapi ajaibnya gagasan apapun yang terkandung dalam
literatur tasawuf lebih mudah diuraikan oleh Mbah Nun dan lebih gampang
dimengerti. Misalnya dalam tarekat Syatariyah tentang wahdat al wujud, hanya
dengan sekali pertemuan di Kenduri Cinta sambil santai makan cilok, akan lebih
mudah masuk daripada duduk satu semester
diajar oleh Doktor pengajar tasawuf di perguruan tinggi.
Namun ketika banyak orang yang bertanya apa aliran tarekatnya :
“entah serius entah guyon menjawab sambil tertawa kecil: Tarekat Kahfiyah.” — Daur II-192 – Tarekat Kahfiyah
Tarekat kahfiyah mungkin bisa berarti suatu jalan
sunyi. Mungkin juga jalan tersembunyi atau sengaja disembunyikan oleh Tuhan.
Misalnya, suatu ketika saya melihat sampul buku yang berjudul 500 tokoh muslim
dunia paling berpengaruh, iseng-iseng saya buka karena ingin tahu isinya adakah
nama Mbah Nun terselip di dalamnya, ternyata tidak ada.
Menjadi salah satu inisiator penggerak reformasi,
tapi tidak disebut tokoh reformasi. Menulis setiap hari, hingga menelurkan
sedikitnya 50-an buku tidak masuk dalam nominasi penerima nobel sastra.
Mondar-mandir menyeterika bumi, menemani masyarakat kecil dan membesarkan
hatinya difitnah cari rezeki. Banyak omong tentang negara, dibilang negarawan
dadakan, dan banyak lagi yang lainnya. Kalau begitu apa posisi beliau kalau
bukan pemimpin sebuah jalan tarekat kesunyian, tarekat kahfiyah?
Dari beliau saya belajar banyak hal. Hal paling
pertama yang saya belajar dari beliau adalah tentang menekan eksistensi diri.
Berusaha tidak menonjol-nonjolkan diri, bahkan siap untuk dianggap tidak ada.
Karena memang aslinya saya ini nggak ada.
Bagi saya beliau adalah guru spiritual. Andaikan
saya orang Aceh, tentu akan saya panggil beliau Tengku, atau Tuanku kalau saya
orang Minang. Namun karena saya orang Cirebon maka bolehlah saya menyebut
beliau Rama Guru. Meskipun beliau tidak akan mau dianggap mursyid dan tidak
akan mau mengakui saya sebagai murid. Yang penting kan tidak menghalangi posisi
Allah dan Rasulullah di hati saya.
Terakhir, apakah Maiyah akan punya andil seperti
Pengguron di Cirebon yang melawan penindas dari Golongan Kumpeni dan tuan tanah
Tionghoa? Saya kira jawabannya, ya. Tetapi mungkin waktunya agak lama. Karena
zaman yang dihadapi berbeda, tantangannya pun jelas berbeda.
Dahulu musuhnya kelihatan jelas, siapa yang
menindas siapa yang ditindas. Mana yang menginjak, mana yg dilemahkan. Kalau
zaman sekarang, yang ditindas dan dilemahkan malah merasa sedang dijunjung dan
dimuliakan. Kalau ada orang yg memberi tahu bahwa dia sedang ditindas, malah
memaki-maki orang yang memberi tahu. Di sosial media gampang sekali diadu
domba. Tawur dengan sesama, bahkan dengan saudara kandung sendiri. Hanya
gara-gara satu kata PKI, atau yang terakhir tentang Pribumi.
Saya jadi teringat nasehat Mbah Nun dalam daurnya:
Maka pelajaran utama adalah menahan diri, membungkam mulut dari sesumbar dan meneriakkan amarah-amarah” —Daur II-026 – Allah Yang Melempar.
Sekali lagi menurut pandangan subjektif saya, di
zaman ini hanya Maiyah yang punya presisi cara berpikir dan punya ketepatan
dalam mengidentifikasi akar suatu masalah. Mudah-mudahan pandangan saya ini
salah. Tetapi kalau yang ini kayaknya benar, hanya Maiyah yang rajin menanam,
dengan prinsip segitiga cintanya membuat sesaji agar Tuhan segera mengabulkan
janjinya seperti dalam surat Al-Qasas ayat 5: “Dan Kami hendak memberi karunia
kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka
pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).”
Jakarta, 23 Oktober 2017
0 comments:
Post a Comment