Friday, May 24, 2019

4 Jenis Manusia (Yang Bereaksi) Menghadapi Ejekan


4 Jenis manusia yang bereaksi menghadapi ejekan
Pict : Intisari_grid


Entah kapan pertama kali celaan dan ejekan terjadi dalam sejarah kehidupan manusia. Setidaknya Al Qur'an mencatat adegan kisah Nabi Nuh Alaihisalam ketika Baginda Nuh sedang membuat bahtera. Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewati Nuh, mereka pun mengejek dan mencemooh Baginda Nuh Alaihisalam.

Mungkin, kalau dibuatkan dialog ala ludrukan akan jadi seperti ini: "Ciyeee, bikin kapal nih ye.." atau, "Oalaaaah, dasar wong gendeng, di tengah gurun begini bikin kapal segitu gedenya."

Tak jelas berapa kali ejekan-ejekan yang dilancarkan kaum Nuh sehingga melatarbelakangi Nuh membuat bahtera yang sangat besar. Mungkin ratusan, ribuan, bahkan jutaan kali cemoohan. Mengingat usia Nuh yang sangat panjang. Semua itu Ia terima dengan kesabaran. Sehingga Ia termasuk salah satu nabi yang mendapat julukan Ulul Azmi.

Tulisan ini sedikit akan mengklasifikasikan jenis-jenis atau tipe-tipe manusia (yang bereaksi) ketika menghadapi celaan dan ejekan. Tentu saja ini klasifikasi menurut saya, bukan menurut kaidah ilmu psikologi yang saya sendiri tidak menguasainya. Kalau menurut anda ada yang kurang, maka tambahilah. Dengan senang hati saya akan menerimanya.

Manusia tipe pertama, yaitu manusia tipe penguasa. Manusia jenis ini sangat tidak bisa menerima kritik, apalagi celaan kepada dirinya dan kelompoknya.

Syahdan, di suatu Kerajaan yang masyhur, Khalifah Harun al-Rasyid sangat ditakuti karena kediktatorannya. Bidang militer, sosial-budaya, pendidikan, dan segala lini kehidupan harus tunduk kepada perintahnya. Jangan coba-coba mengkritik, apalagi mencela. Kalau tidak mau mendekam di penjara atau hilang tinggal nama.

Sudah banyak tokoh yang 'diamankan' ketika Khalifah Harun berkuasa. Tidak sedikit pula yang 'pergi' hanya tinggal nama. Semua dilakukan demi dan untuk keberlangsungannya berkuasa.

Setiap ada rakyatnya yang mengkritik, pihak yang sedang berkuasa akan dengan mudah melabelinya provokator, separatis atau perbuatan makar yang ingin memecah-belah bangsa. Mereka dipandang cari gara-gara dan mengancam kedamaian dan stabilitas pembangunan nasional.

Maka, pada suatu hari dibentuklah sebuah korps, atau sebuah tim investigasi, oleh salah seorang menteri Khalifah Harun al-Rasyid, yang tugasnya mengawasi, menelaah, menilai, sekaligus mengevaluasi apakah aksi yang 'dianggap' meresahkan masyarakat itu masuk kategori makar atau bukan, dicari pasalnya yang cocok apa, lalu selanjutnya itu orang mau di-apa-kan.

Dari cerita tersebut kita bisa mafhum, yang sedang berkuasa, dari dulu ya memang begitu itu. Demi kelanggengannya berkuasa, sangat ketakutan jika suatu saat tidak lagi berkuasa. Maka dicarilah, atau dibikinkan policy-policy, pasal-pasal yang bisa menjerat para pengkritiknya.

Dari sekian banyaknya para pengkritik kekuasaan, ada satu orang dari zaman ke zaman yang tidak pernah tersentuh, yakni si cerdik Abu Nawas. Yang pada suatu hari menjadi sahabat karib Khalifah Harun al-Rasyid, karena sang Khalifah tahu bahwa Abu Nawas mengkritiknya tanpa pretensi apa-apa, selain melakukan sesuatu yang memang seharusnya dilakukan.

Tipe kedua, tipe rakyat jelata. Kalau ada orang yang mencela kita, di kehidupan nyata atau lewat sosial media, sekali dua kali, sehari dua hari, mungkin kita bisa bersabar. Tapi lama kelamaan agak menjengkelkan juga. Ingin segera berkata kasar. Kasar!

Penyelesaian dari masalah ini biasanya akan berlanjut dengan baku hantam secara lanang dan jantan. Ini adalah ciri khas manusia Jawa, maksudnya manusia-manusia Nusantara yang bermental ksatria, pokoknya gak banyak kembangan-kembangan, "del-del" langsung beres.

Tapi sayangnya, watak ksatria itu mulai luntur seiring perkembangan zaman. Di sosial media, setiap orang bebas membuat akun, merahasiakan personalitasnya. Makin banyak akun, makin ketahuan sifat dasarnya yang asli. Sama seperti halnya semakin banyak memakai topeng, -karena merasa personalitasnya tidak diketahui orang-, makin buruklah perbuatan si pemakai topeng itu. Mencela, mengumpat, membully, siapa saja tanpa kenal rasa takut.

Memang ini sedang zamannya tikus mengaku macan, kalaupun macan, tapi macan peliharaan. Di sosial media (kalau pinjam istilah urang Sunda mah) ngajago, tapi kalau didatangi dikehidupan nyata, yang tadinya singa, mendadak jadi ayam betina.

Tipe ketiga, tipe ngeyelan dan humoris. Salah satu contoh dari manusia tipe ini yaitu, legenda hidup musik Balada Indonesia.

Bagi kaum kalong, keberadaan dirinya diangggap sebagai munafik yang sudah tidak lagi vokal dan garang seperti dahulu, ia dianggap lebih condong kepada rezim yang didukung oleh kaum berudu.

Berbekal foto makan malam bersama capres kala itu, sontak saja langsung diejek oleh netizen yang maha benar. Padahal itu makan malam di rumahnya loh, di Leuwinanggung. Bukan di Istana.

Banyak yang bilang beliau sudah kehilangan taji. Tak lagi garang seperti dulu. Tak ada lagi lagu yang mengritik pemerintahan. Padahal koen ae sing gak weruh, Dul!

Meneng sik, cari tahu dulu kebenarannya. Jangan mengandalkan data yang sedikit, langsung nyerocos. Kakean menelan hoax, ndasmu isinya hoax tok.

Ya mungkin itulah cinta yang tak berbalas. Mengharapkan tokoh idolanya bersikap seperti yang dimaui, tetapi ketika kenyataannya tidak berkata demikian. Langsung patah hati. Akhirnya dendam, yang berujung pada rindu. Ciyeee...

Untunglah beliau orangnya selo dan humoris, setiap cuitan atau celaan yang datang kepadanya dibalas dengan cuitan lagi, singkat, dan bikin ngakak pihak ketiga (yakni pembaca budiman seperti saya).

Bagi para pencela beliau, justru akan bertambah jengkel karena ejekannya malah dibalas dengan lelucon. Bagi pembaca budiman seperti saya, justru sangat menghibur membaca celotehan-celotehan mereka. Bisa melihat pencela (yang kalau pinjam kalimat sarkasme di shitpost kids zaman now) gobloknya murni bawaan lahir. Atau, gobloknya seperti pipa air ruc**a, mengalir sampai jauh. Hahaha.

Tipe keempat, tipe diam, tidak membalas. Syahdan, rezim sudah berganti. Orde yang usang diganti orde paling baru. Sistem kerajaan berganti demokrasi. Khalifah Harun al-Rasyid digantikan oleh presiden Zackaria Al Wadidu. Yang lebih dikenal dengan alias Zack KW.

Abu Nawas semakin sepuh. Namun, ia masih tetap vokal kepada pihak yang sedang berkuasa. Mungkin sudah garis takdirnya berada di kiri persimpangan jalan, menemani jelata yang tersingkirkan.

Ia berkeras memegang kebenaran yang ia yakini. Kalau bilang A ya tetap A, B ya tetap B. Tidak ada tedeng aling-aling. Pokoknya gitu ya gitu. Ya memang begitulah wajahnya. Tak ada topeng-topeng yang menghalangi.

Persahabatannya dengan Begawan Tata Negara yang sangat njawani, membuatnya sangat yakin kalau di dalam sistem demokrasi, pemerintah itu bukan negara.

Kedaulatan berada di tangan rakyat, artinya tuan rumah atau si pemilik rumahnya adalah rakyat. Rumahnya adalah negara. Rakyat sebagai tuan rumah menggaji petugas (kalau tidak mau disebut buruh, babu, apalagi jongos) untuk mengurusi rumah yang disebut negara. Petugas itu (untuk sementara ini) disebut pemerintah (gak ada istilah lain apa ya?)

Masih feodalistis aja, hadeuh... Situ yang dibayar, situ yang memerintah. Enak temen sira. Ganti dong istilahnya, aparatur kek, petugas kek atau apalah.

Kalau di perusahaan swasta, rakyat tuan rumah berarti si bos, atau si owner. Sedangkan pemerintah hanyalah buruh kontrak 5 tahunan yang digaji oleh si owner. Begitulah analoginya.

Dalam suatu acara sarasehan di kampungnya, Abu Nawas tampil sebagai tamu yang diundang untuk sedikit cuap-cuap mengisi acara tersebut.

Ia menceritakan prinsip hidupnya, "Kalau saya bilang A, saya melakukannya sampai umur 65 tahun. Sampai sekarang A, (ya) A. Sampai sekarang, kalau saya bilang "Hei, saya tidak bisa dipanggil presiden. Saya yang berhak manggil presiden, karena aku rakyat, aku yang bayar. Itu saya lakukan. Dan saya tidak pernah mau dipanggil ke istana. Dan saya tidak bangga sama sekali. Hina saya kalau sampai ke sana".

Sama sekali tidak ada yang salah dengan prinsip hidup Abu Nawas. Ia berdaulat dengan dan kepada dirinya sendiri.

Secara nalar, memang tepat sekali kalau rakyat adalah yang menggaji petugas yang ngurusi negara. Kalau di suatu perusahaan, berarti bos yang menggaji buruhnya.

Si bos punya prinsip, akan menghinakan dirinya sendiri kalau sampai mau dipanggil ke ruangan buruhnya. Abu Nawas tidak menghinakan bos-bos lain yang mau datang ke ruangan buruhnya. Itu silakan saja. Prinsip itu berlaku untuk dirinya sendiri. Saya juga sepakat akan hal itu.

Jelas, ini bukan soal kesombongan Abu Nawas, memang begitulah cara berpikir dan prinsip hidup yang ia yakini.

Apa yang dikatakan Abu Nawas di atas adalah pelatuk, atau pemantik bagi nalar-nalar kita yang jumud. Yang masih terkungkung oleh cara berpikir feodalisme.

Bagi para fans garis keras Zack Al Wadidu alias Zack KW,  justru ini adalah santapan empuk nan lezat, ya kan? Kapan lagi bisa mencela si cerdik Abu Nawas.

Ayo, cela dan cemoohlah Ia. Tak akan kau dapati apa-apa selain cintanya. Ejeklah sampai habis energimu. Tapi berhati-hatilah kepada orang yang kalau dicela, dihina, diejek, ia diam saja. Bergeming. Tidak oyeg sedikit pun. Malah terus berjalan. Karena di dalam Al Qur'an ada teori, bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tapi Allah yang melempar. Bukan ia yang membalas, tapi Allah yang membalas. Nah, lho... Masih wani?

Bagi fans garis keras kubu sebelah, vokalnya Abu Nawas kepada yang sedang berkuasa dianggap sedang memihak ke kubunya. Oh, kamu salah tong, jangan ge-er dulu! Ia melakukan itu semua, memang melakukan yang sewajarnya harus dilakukan. Tanpa pretensi apa-apa. Gak pengin jadi apa-apa. La ubali!

Tetapi ya sah-sah saja kamu men-dompleng petuah-petuahnya, menggunakan kata-katanya untuk menyerang pihak yang kamu tidak sukai, tapi siap-siap terima resikonya ya.

Mungkin yang perlu kita lakukan sekarang adalah belajar kembali logika dan bahasa Indonesia. Belajar menghormati prinsip hidup yang dipegang dan diyakini oleh seseorang. Menghilangkan cara berpikir sempit dan dangkal akibat fanatisme ke suatu golongan dan perlu sedikit berpuasa. Menahan diri.

Di bulan Ramadhan ini, mungkin banyak di antara kita yang lulus puasa dalam konteks as-shiyam, menahan diri dari makan, minum dan kenthu sampai terbenamnya matahari. Tapi, yang kita perlukan saat ini adalah puasa As-shaum seperti puasa Ibundanya Nabi Isa. "Fa quli inni nadzartu li Ar-Rahmani shauma falan ukallimal yauma insiyya" (Q.S. Maryam : 26)
Location: Slendra, Gegesik, Cirebon, West Java, Indonesia

0 comments:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html