![]() |
Pict : Intisari_grid |
Entah kapan pertama kali celaan dan
ejekan terjadi dalam sejarah kehidupan manusia. Setidaknya Al Qur'an mencatat
adegan kisah Nabi Nuh Alaihisalam ketika Baginda Nuh sedang membuat bahtera.
Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewati Nuh, mereka pun mengejek dan
mencemooh Baginda Nuh Alaihisalam.
Mungkin, kalau dibuatkan dialog ala
ludrukan akan jadi seperti ini: "Ciyeee, bikin kapal nih ye.." atau, "Oalaaaah, dasar wong gendeng, di tengah gurun begini bikin kapal segitu gedenya."
Tak jelas berapa kali ejekan-ejekan yang
dilancarkan kaum Nuh sehingga melatarbelakangi Nuh membuat bahtera yang sangat
besar. Mungkin ratusan, ribuan, bahkan jutaan kali cemoohan. Mengingat usia Nuh
yang sangat panjang. Semua itu Ia terima dengan kesabaran. Sehingga Ia termasuk
salah satu nabi yang mendapat julukan Ulul Azmi.
Tulisan ini sedikit akan
mengklasifikasikan jenis-jenis atau tipe-tipe manusia (yang bereaksi) ketika
menghadapi celaan dan ejekan. Tentu saja ini klasifikasi menurut saya, bukan
menurut kaidah ilmu psikologi yang saya sendiri tidak menguasainya. Kalau
menurut anda ada yang kurang, maka tambahilah. Dengan senang hati saya akan
menerimanya.
Manusia tipe pertama, yaitu manusia tipe
penguasa. Manusia jenis ini sangat tidak bisa menerima kritik, apalagi celaan
kepada dirinya dan kelompoknya.
Syahdan, di suatu Kerajaan yang masyhur,
Khalifah Harun al-Rasyid sangat ditakuti karena kediktatorannya. Bidang
militer, sosial-budaya, pendidikan, dan segala lini kehidupan harus tunduk
kepada perintahnya. Jangan coba-coba mengkritik, apalagi mencela. Kalau tidak
mau mendekam di penjara atau hilang tinggal nama.
Sudah banyak tokoh yang 'diamankan'
ketika Khalifah Harun berkuasa. Tidak sedikit pula yang 'pergi' hanya tinggal
nama. Semua dilakukan demi dan untuk keberlangsungannya berkuasa.
Setiap ada rakyatnya yang mengkritik,
pihak yang sedang berkuasa akan dengan mudah melabelinya provokator, separatis
atau perbuatan makar yang ingin memecah-belah bangsa. Mereka dipandang cari
gara-gara dan mengancam kedamaian dan stabilitas pembangunan nasional.
Maka, pada suatu hari dibentuklah sebuah
korps, atau sebuah tim investigasi, oleh salah seorang menteri Khalifah Harun
al-Rasyid, yang tugasnya mengawasi, menelaah, menilai, sekaligus mengevaluasi
apakah aksi yang 'dianggap' meresahkan masyarakat itu masuk kategori makar atau
bukan, dicari pasalnya yang cocok apa, lalu selanjutnya itu orang mau di-apa-kan.
Dari cerita tersebut kita bisa mafhum,
yang sedang berkuasa, dari dulu ya memang begitu itu. Demi kelanggengannya
berkuasa, sangat ketakutan jika suatu saat tidak lagi berkuasa. Maka dicarilah,
atau dibikinkan policy-policy, pasal-pasal
yang bisa menjerat para pengkritiknya.
Dari sekian banyaknya para pengkritik
kekuasaan, ada satu orang dari zaman ke zaman yang tidak pernah tersentuh,
yakni si cerdik Abu Nawas. Yang pada suatu hari menjadi sahabat karib Khalifah
Harun al-Rasyid, karena sang Khalifah tahu bahwa Abu Nawas mengkritiknya tanpa
pretensi apa-apa, selain melakukan sesuatu yang memang seharusnya dilakukan.
Tipe kedua, tipe rakyat jelata. Kalau
ada orang yang mencela kita, di kehidupan nyata atau lewat sosial media, sekali
dua kali, sehari dua hari, mungkin kita bisa bersabar. Tapi lama kelamaan agak
menjengkelkan juga. Ingin segera berkata kasar. Kasar!
Penyelesaian dari masalah ini biasanya
akan berlanjut dengan baku hantam secara lanang dan jantan. Ini adalah ciri
khas manusia Jawa, maksudnya manusia-manusia Nusantara yang bermental ksatria,
pokoknya gak banyak kembangan-kembangan, "del-del" langsung beres.
Tapi sayangnya, watak ksatria itu mulai
luntur seiring perkembangan zaman. Di sosial media, setiap orang bebas membuat
akun, merahasiakan personalitasnya. Makin banyak akun, makin ketahuan sifat
dasarnya yang asli. Sama seperti halnya semakin banyak memakai topeng, -karena
merasa personalitasnya tidak diketahui orang-, makin buruklah perbuatan si
pemakai topeng itu. Mencela, mengumpat, membully, siapa saja tanpa kenal rasa
takut.
Memang ini sedang zamannya tikus mengaku
macan, kalaupun macan, tapi macan peliharaan. Di sosial media (kalau pinjam
istilah urang Sunda mah) ngajago, tapi kalau didatangi dikehidupan nyata, yang tadinya singa,
mendadak jadi ayam betina.
Tipe ketiga, tipe ngeyelan dan humoris. Salah
satu contoh dari manusia tipe ini yaitu, legenda hidup musik Balada Indonesia.
Bagi kaum kalong, keberadaan dirinya
diangggap sebagai munafik yang sudah tidak lagi vokal dan garang seperti
dahulu, ia dianggap lebih condong kepada rezim yang didukung oleh kaum berudu.
Berbekal foto makan malam bersama capres
kala itu, sontak saja langsung diejek oleh netizen yang maha benar. Padahal itu
makan malam di rumahnya loh, di Leuwinanggung. Bukan di Istana.
Banyak yang bilang beliau sudah
kehilangan taji. Tak lagi garang seperti dulu. Tak ada lagi lagu yang mengritik
pemerintahan. Padahal koen ae sing gak
weruh, Dul!
Meneng sik, cari tahu dulu kebenarannya. Jangan
mengandalkan data yang sedikit, langsung nyerocos.
Kakean menelan hoax, ndasmu isinya hoax tok.
Ya mungkin itulah cinta yang tak
berbalas. Mengharapkan tokoh idolanya bersikap seperti yang dimaui, tetapi
ketika kenyataannya tidak berkata demikian. Langsung patah hati. Akhirnya
dendam, yang berujung pada rindu. Ciyeee...
Untunglah beliau orangnya selo dan
humoris, setiap cuitan atau celaan yang datang kepadanya dibalas dengan cuitan
lagi, singkat, dan bikin ngakak pihak
ketiga (yakni pembaca budiman seperti saya).
Bagi para pencela beliau, justru akan bertambah
jengkel karena ejekannya malah dibalas dengan lelucon. Bagi pembaca budiman
seperti saya, justru sangat menghibur membaca celotehan-celotehan mereka. Bisa
melihat pencela (yang kalau pinjam kalimat sarkasme di shitpost kids zaman now) gobloknya murni bawaan lahir. Atau, gobloknya
seperti pipa air ruc**a, mengalir sampai jauh. Hahaha.
Tipe keempat, tipe diam, tidak membalas.
Syahdan, rezim sudah berganti. Orde yang usang diganti orde paling baru. Sistem
kerajaan berganti demokrasi. Khalifah Harun al-Rasyid digantikan oleh presiden
Zackaria Al Wadidu. Yang lebih dikenal dengan alias Zack KW.
Abu Nawas semakin sepuh. Namun, ia masih
tetap vokal kepada pihak yang sedang berkuasa. Mungkin sudah garis takdirnya
berada di kiri persimpangan jalan, menemani jelata yang tersingkirkan.
Ia berkeras memegang kebenaran yang ia
yakini. Kalau bilang A ya tetap A, B ya tetap B. Tidak ada tedeng aling-aling. Pokoknya gitu ya gitu. Ya memang begitulah
wajahnya. Tak ada topeng-topeng yang menghalangi.
Persahabatannya dengan Begawan Tata Negara
yang sangat njawani, membuatnya
sangat yakin kalau di dalam sistem demokrasi, pemerintah itu bukan negara.
Kedaulatan berada di tangan rakyat,
artinya tuan rumah atau si pemilik rumahnya adalah rakyat. Rumahnya adalah
negara. Rakyat sebagai tuan rumah menggaji petugas (kalau tidak mau disebut
buruh, babu, apalagi jongos) untuk mengurusi rumah yang disebut negara. Petugas
itu (untuk sementara ini) disebut pemerintah (gak ada istilah lain apa ya?)
Masih feodalistis aja, hadeuh... Situ yang dibayar, situ yang memerintah. Enak temen
sira. Ganti dong istilahnya, aparatur kek, petugas kek atau apalah.
Kalau di perusahaan swasta, rakyat tuan
rumah berarti si bos, atau si owner. Sedangkan pemerintah hanyalah buruh
kontrak 5 tahunan yang digaji oleh si owner. Begitulah analoginya.
Dalam suatu acara sarasehan di
kampungnya, Abu Nawas tampil sebagai tamu yang diundang untuk sedikit cuap-cuap
mengisi acara tersebut.
Ia menceritakan prinsip hidupnya, "Kalau
saya bilang A, saya melakukannya sampai umur 65 tahun. Sampai sekarang A, (ya)
A. Sampai sekarang, kalau saya bilang "Hei, saya tidak bisa dipanggil
presiden. Saya yang berhak manggil presiden, karena aku rakyat, aku yang bayar.
Itu saya lakukan. Dan saya tidak pernah mau dipanggil ke istana. Dan saya tidak
bangga sama sekali. Hina saya kalau sampai ke sana".
Sama sekali tidak ada yang salah dengan
prinsip hidup Abu Nawas. Ia berdaulat dengan dan kepada dirinya sendiri.
Secara nalar, memang tepat sekali kalau
rakyat adalah yang menggaji petugas yang ngurusi negara. Kalau di suatu perusahaan,
berarti bos yang menggaji buruhnya.
Si bos punya prinsip, akan menghinakan
dirinya sendiri kalau sampai mau dipanggil ke ruangan buruhnya. Abu Nawas tidak
menghinakan bos-bos lain yang mau datang ke ruangan buruhnya. Itu silakan saja.
Prinsip itu berlaku untuk dirinya sendiri. Saya juga sepakat akan hal itu.
Jelas, ini bukan soal kesombongan Abu
Nawas, memang begitulah cara berpikir dan prinsip hidup yang ia yakini.
Apa yang dikatakan Abu Nawas di atas adalah
pelatuk, atau pemantik bagi nalar-nalar kita yang jumud. Yang masih terkungkung
oleh cara berpikir feodalisme.
Bagi para fans garis keras Zack Al
Wadidu alias Zack KW, justru ini adalah
santapan empuk nan lezat, ya kan? Kapan lagi bisa mencela si cerdik Abu Nawas.
Ayo, cela dan cemoohlah Ia. Tak akan kau
dapati apa-apa selain cintanya. Ejeklah sampai habis energimu. Tapi
berhati-hatilah kepada orang yang kalau dicela, dihina, diejek, ia diam saja.
Bergeming. Tidak oyeg sedikit pun.
Malah terus berjalan. Karena di dalam Al Qur'an ada teori, bukan kamu yang
melempar ketika kamu melempar, tapi Allah yang melempar. Bukan ia yang
membalas, tapi Allah yang membalas. Nah, lho... Masih wani?
Bagi fans garis keras kubu sebelah,
vokalnya Abu Nawas kepada yang sedang berkuasa dianggap sedang memihak ke
kubunya. Oh, kamu salah tong, jangan
ge-er dulu! Ia melakukan itu semua, memang melakukan yang sewajarnya harus
dilakukan. Tanpa pretensi apa-apa. Gak pengin jadi apa-apa. La ubali!
Tetapi ya sah-sah saja kamu men-dompleng petuah-petuahnya, menggunakan
kata-katanya untuk menyerang pihak yang kamu tidak sukai, tapi siap-siap terima
resikonya ya.
Mungkin yang perlu kita lakukan sekarang
adalah belajar kembali logika dan bahasa Indonesia. Belajar menghormati prinsip
hidup yang dipegang dan diyakini oleh seseorang. Menghilangkan cara berpikir
sempit dan dangkal akibat fanatisme ke suatu golongan dan perlu sedikit
berpuasa. Menahan diri.
Di bulan Ramadhan ini, mungkin banyak di
antara kita yang lulus puasa dalam konteks as-shiyam, menahan diri dari makan,
minum dan kenthu sampai terbenamnya
matahari. Tapi, yang kita perlukan saat ini adalah puasa As-shaum seperti puasa
Ibundanya Nabi Isa. "Fa quli inni nadzartu li Ar-Rahmani shauma falan ukallimal
yauma insiyya" (Q.S. Maryam : 26)
0 comments:
Post a Comment