Wednesday, March 18, 2020

Berlibur ke Takengon, Negeri di Atas Awan

Berlibur ke Takengon, Negeri di Atas Awan
Danau Lut Tawar dari atas
Malam hari berbaring di atas ranjang, liburan sekolah semester ganjil. Sudah 5 hari saya menginap di rumah Pak Ngatemin, di Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang. Beliau adalah teman mengajar saya di pedalaman Aceh Timur. Sebagai orang Jawa, saya memiliki rasa pakewuh, sungkan dan tidak enak hati kalau terlalu lama bertamu di rumah orang.
Malam itu juga saya putuskan esok hari harus segera pamit. Entah mau kemana tujuanku. Hendak pulang ke Pedalaman Aceh Timur tidak bisa, Jalanan Peureulak - Peunaron banjir. Jalanan tak mungkin bisa dilewati. Mau mampir ke teman-teman SM3T, mereka juga terisolir karena banjir.
Akhirnya saya putuskan, besok melancong ke Takengon, Aceh Tengah seorang diri.
Keesokan harinya, Saya pergi ke tempat transit bus di Kuala Simpang menanyakan kapan keberangkatan bus ke Takengon dan berapa harganya. Ternyata setelah Saya tanyai agen bus, bus-bus antar kota di Aceh kebanyakan bergerak pada malam hari. Saya beli tiket bus Mandala tujuan Medan - Takengon, berangkat pukul 10 malam. Dengan mahar 130 ribu tiket bus saya tebus di Kuala Simpang, Aceh Tamiang.
Di Indonesia jam karet masih berlaku. Jarum jam di tangan kiriku menunjukkan pukul 11 malam. Beberapa menit kemudian bus datang. Saya masuki bus dari pintu depan. Di bangku paling depan saya lihat perempuan berkerudung, berhidung mancung, berkulit putih, elok parasnya. Perempuan paling cantik yang pernah Saya lihat sepanjang hidup saya. Saya ingat Hurun, kekasihku di Cirebon.
Penumpang bus lumayan sepi, saya duduk di kursi 3 tempat duduk, barisan tengah sebelah kanan bersandar ke jendela. Di sepanjang perjalanan setelah kota Langsa, jalanan digenangi banjir. Peureulak, Idi, Lhokseumawe terlewati. Kondektur bus memutar lagu Aceh ber-ritme lambat membawaku berkhayal tentang tragedi tsunami beberapa tahun lalu.
Air hujan malam itu basahi jendela, seperti air mata ibu yang membasahi dinding nurani. Dari balik jendela saya menerawang ke sudut-sudut jalanan. Sorot lampu mobil-mobil dari arah depan tampak seperti kunang-kunang berkejaran.
Lampu merkuri jalanan terlihat redup, suram seperti malam sehabis bencana. Bus yang dingin mengajakkku berselimut. Sedangkan mata saya belum juga mau tertutup.
Walau sempat melewati pemandangan banjir sepanjang perjalanan yang membosankan, perjalanan menuju Takengon memberi kesan tersendiri. Sendiri di kota asing, sunyi sekali. Selalu ada kesunyian dari setiap perjalanan. Untunglah malam itu pesan singkat kekasihku menemani sepanjang jalan.
Di bangku depan, pak sopir berbicara dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Muda - mudi asyik bercanda di bangku barisan depan seolah mengejekku yang duduk sendiri.
Waktu menunjukkan pukul 2 pagi. Suasana bus hening. Setelah Lhokseumawe saya tak ingat lagi. Dini hari, sempat saya melihat perempuan berkerudung yang saya lihat di awal, turun dari bus entah di daerah mana. Dalam hati kecil saya berharap suatu saat bisa melihat dia lagi.
Sekitar 8 jam di dalam bus membuat kaki dan badanku kaku untuk digerakkan. Sebelum tiba di Takengon saya sempat disuguhkan pemandangan yang membuat mata tak berkedip. Sebelah kanan tebing, sebelah kiri jurang. Sebelah kiri agak jauh terlihat siluet gunung api Geureudong gagah menjulang. Jalanan yang sempit ini mengingatkanku pada jalan cadas pangeran, Sumedang.


Berlibur ke Takengon lewati Gunung Geureudong
Gn. Geureudong, atau orang Gayo menyebutnya Bur ni Geureudong
Pukul 7 pagi saya tiba di terminal Takengon. Saya turun dari pintu belakang bus. Kulihat di pojokkan ada mushola kecil, saya berniat hendak buang air kecil dan cuci muka. Sial! Ternyata mushola ditutup. Buat apa dibikin mushola kalau tidak boleh digunakan. Tak tahan menahan ‘rasa rindu’ ini saya mencari tempat yang sepi lalu buang air kecil dan mencuci muka dengan air mineral yang kubawa dari Kuala Simpang.
Setelah lega, saya cari bentor (becak motor) untuk mengantarkanku mencari penginapan yang harganya terjangkau. Oh, iya. Bagi pendatang di daerah Aceh jangan takut untuk menanyakan harga jasa bentor lalu menawarnya jika dirasa terlalu kemahalan. Jika tidak, bisa-bisa kita diketok dengan harga yang cukup membuat kita menghela napas.
Setelah mengambil uang di ATM, saya ditunjukkan ke sebuah penginapan di jalan Lembaga, Takengon. Setelah membayar ongkos bentor saya bertanya kepada kakak penjaga penginapan. Di Aceh panggilan kakak ditujukan kepada perempuan yang lebih tua dari kita.
“Ada kamar kosong, Kak?”
“Ada, untuk berapa malam?”
“Sekitar 2 malam.”
“Mau yang kamar mandi di luar atau di dalam?”
Saya balik bertanya.
“Kalau kamar mandi di dalam berapa, di luar berapa?”
“Kamar mandi dalam 100 ribu per malam, yang luar 60 ribu per malam.”
“Oke deh, saya ambil kamar mandi luar saja, untuk 2 malam Kak."
“Boleh pinjam KTP Abang? O, iya. Bayarnya langsung di muka ya.”
“Oke, ini KTP-ku. Ini 120 ribu.”
Syukurlah dapat penginapan yang cukup murah. Setelah selesai administrasi saya ditunjukkan ke kamar yang hendak saya tempati. Kamarnya berada di lantai 2, kamar nomor 8. Ruangan yang cukup sempit bercat merah muda, berlampu neon watt kecil, dinding-dindingnya terbuat dari papan triplek. Mempunyai 2 tempat tidur, satu ranjang hanya muat untuk 1 orang. Tak perlu ac, Takengon sudah dingin.
Kondisi jam 8 di Takengon seperti jam 6 pagi di Bandung. Penginapan tempatku menginap terletak di pusat kota jadi tak susah untuk pergi kemana-mana. Cukup by foot saja.
Berlibur ke Takengon Aceh Tengah
Tulisan Gayo Highland dari kejauhan
Takengon, diijuluki “negeri di atas awan”. Namun, saat saya ke sana datarannya masih di bawah awan tidak seperti desa Sikunir, desa tertinggi di Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Namun, sebutan itu cukup pantas disematkan untuk kota ini. Kabut selalu turun setiap hari bak gerimis. Letak Takengon yang diapit oleh perbukitan membuat panorama yang cukup indah di pandang mata. Di atas bukit dari kejauhan saya lihat tulisan "Gayo Highland". Wah, ini seperti tulisan Hollywood yang sering saya lihat di teve, pikirku.
Berbicara tentang Takengon, tidak lepas dari wanita-wanitanya yang berhidung mancung, putih, manis dan cantik. Wanita dari etnis Gayo di sini berbeda dengan wanita etnis Gayo di Aceh Timur. Wanita gayo di sini putih-putih, mungkin karena suhu udara di Takengon jauh lebih sejuk daripada Aceh Timur. Bagi laki-laki yang ingin memperbaiki keturunan, disarankan menikahi wanita Gayo di Takengon. Hehehe..
****
Masuk kamar penginapan saya merebahkan badan di kasur yang tidak empuk itu.
“Fiuh.. Capek sekali.”
Setelah puas merebahkan badan saya bersiap-siap untuk mandi.
Sial! Suhu air di sini menusuk tulang. Padahal sudah jam 9 pagi. Dinginnya melebihi di pelosok Cimahi pukul 4 pagi beberapa tahun silam. Tak mau kalah dengan rasa dingin akhirnya saya beranikan diri untuk mandi.
Setelah mandi dan berganti pakaian, saya membeli sarapan di depan penginapan. Duduk menghadap ke selatan disuguhi pemandangan bukit hijau nan permai. Hmm.. Indahnya hidup ini.
Setelah sarapan Saya berniat berjalan kaki memutari kota Takengon. Kesan pertama ketika melihat sekeliling kota ialah Takengon cukup bersih serta tata kotanya tertata rapi. Berkunjung ke suatu kota yang baru dikunjungi tidak lengkap jika tidak mengunjungi perpustakaan daerah. Menurutku, perpustakaan bisa menjadi tolak ukur seberapa jauh warga kota tersebut menyukai buku.
Perpustakaan yang terletak di jalan Yos Sudarso itu menyuguhkan pemandangan potret-potret Takengon zaman doeloe sampai sekarang di lantai dasarnya. Di lantai selanjutnya, barulah banyak buku berjajar di raknya. Saya lihat satu per satu judul buku tersebut, akhirnya saya lebih memilih duduk ngendon di rak buku sastra. Banyak buku-buku karya Umar Kayam, Pramoedya, dan lain-lain. Sungguh menggairahkan sekali.


Puas saya baca-baca buku, saya melanjutkan agenda selanjutnya yaitu mengunjungi keindahan Danau Lut Tawar. Tidak jauh dari perpustakaan, sekitar 1 kilometer. Danau ini adalah Laut bagi etnis Gayo. Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami pegunungan di Aceh Tengah. Etnis Gayo secara mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, sebagian lagi di Kabupaten Aceh timur di kecamatan Lokop dan Serbajadi. Etnis Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat agamanya.
Etnis pribumi yang menyingkir ke lereng-lereng gunung, dataran tinggi, perbukitan dan ke dalam hutan belantara akibat pendatang di pesisir pantai Aceh. Seperti nasib etnis Betawi yang mulai tersingkir oleh pendatang. Bisa jadi begitu, atau bukan versi yang itu sejarahnya. Menurut versi saya sendiri, orang-orang Gayo Takengon lebih maju peradabannya dibandingkan dengan orang-orang pesisir sehingga memilih daerah-daerah tinggi yang tanahnya subur seperti suku Inka di Machu Picchu, Peru.
Berjalan kaki dari perpustakaan ke Danau Lut Tawar cukup membuat kaki lelah, tetapi badan tidak berkeringat karena udara yang cukup dingin. Sebelum memasuki wilayah danau Lut Tawar, kita akan melewati sebuah Tugu, lalu melewati sebuah jembatan yang mengangkangi sebuah sungai yang alirannya berasal dari danau Lut Tawar ini.
Jalanan menuju Danau Lut Tawar ini cukup bagus, sudah beraspal. Sebelah kanan kita akan disuguhi oleh bukit curam yang menjulang tinggi. Sebelah kiri kita akan disuguhi oleh luasnya danau Lut Tawar yang berkabut. Sebelah kiri agak jauh telihat siluet perbukitan yang hitam.
Berlibur ke Takengon Aceh Tengah
Kabut di atas danau Lut Tawar
Danau Lut Tawar yang biru permai sangat elok, sedap dipandang mata. Di atas airnya banyak kabut tipis, menambah kesan mistis dengan adanya legenda putri pukes. Bagi pendatang jangan coba-coba berenang di danau, nanti dijemput oleh sang putri tutur warga lokal.
Berjalan menyusuri pinggiran danau tidak terasa matahari sudah menyurup ke peraduannya, Saya pulang ke penginapan. Kegiatanku melancong di Takengon akan kulanjutkan esok hari.
Sesampainya di penginapan Saya langsung mandi untuk mengusir lelah dan keringat yang menempel di tubuh ini. Sore hari, air di dalam bak mandi bertambah dingin. Brrrr... Segar. Suasana di luar sedang gerimis, perutku lapar. Saya keluar ke depan, ternyata kedai di depan penginapan tutup. Sial! Saya kembali ke kamar mengambil jas hujan lalu saya pakai untuk membeli nasi goreng di Jalan Yos Sudarso, dekat perpustakaan.
Saya memutuskan untuk makan di penginapan, nasi goreng kubawa pulang. Sesampainya di penginapan nasi goreng tadi langsung saya lumat habis dalam hitungan menit. Rasa nasi goreng di sini berbeda dengan di Jawa. Di jawa, biasanya rasa nasi goreng itu manis, di Aceh, mungkin di seluruh Sumatera, nasi goreng berasa sangat pedas. Di Jawa biasanya telur ceplok diorak-arik, lalu diaduk-aduk dicampur dengan nasi, di sini tidak. Telur didadar seperti biasa lalu ditaruh di atas nasi.
Usai makan saya menonton teve yang disediakan oleh penginapan di ruang tamu sambil bercengkerama dengan penginap lain. Bosan menonton teve, saya putuskan untuk tidur. Kamar yang gelap dan pengap menjaga saya agar tetap hangat di Takengon yang dingin.
*****
Pagi harinya.
Pagi - pagi sekali saya sudah mandi dan keluar dari penginapan. Berjalan - jalan melihat pasar pagi di dekat tugu yang kemarin saya lewati. Tugu Aman Dimut di depan Masjid Agung Takengon. Banyak barang - barang yang dijajakan, mulai dari sayur mayur, sampai pakaian dalam perempuan. Dengar dari pembicaraan orang-orang di pasar, saya tangkap tutur kata yang keluar dari mulut mereka sangat lembut melebihi Bandung. Takengon, menurutku wajah Indonesia yang sesungguhnya. Ketika konflik Aceh terjadi, di sini tenang - tenang saja. Penduduk Gayo dan Jawa bersatu padu melawan gerakan separatis, lebih memilih tetap menjadi bagian dari NKRI.
Keluar dari pasar saya mengunjungi toko souvenir. Saya tertarik dengan kaos warna hitam bertuliskan Gayo Highland, di bawahnya terdapat gambar motif batik khas Takengon yang juga menjadi motif di tembok - tembok instansi pemerintahan. Kalau di lihat sekilas, motif ini mirip sekali dengan motif batik etnis Dayak Kalimantan. Saya tanya harga kepada Abang-abang penjaga toko souvenir.
“Bang, yang ini berapa?”
“80 ribu, dek.”
“Gak bisa kurang?”
“Tidak bisa, sudah harga pas.”
Sial! Mahal sekali kaos itu untuk ukuran kantong orang seperti saya. Gaji dari DIKTI belum cair pula, Hufftt.. Saya menghela napas dalam – dalam.
“Ya sudah Bang, nanti aja deh.”
Suatu saat nanti saya akan beli kaos ini pikirku dalam hati. Saya nyelonong pergi. Dari situ saya langsung menuju terminal bus Takengon yang kemarin, sebab tujuanku selanjutnya ialah Banda Aceh. Sebentar lagi bertepatan dengan peringatan 10 tahun tsunami.
Di sepanjang jalan saya tengok kanan kiri, di sebelah kiri ada gedung kantor bupati Aceh Tengah. Kesan pertama ketika melihat bangunan ini seperti gedung angker tempat sang Dewa bertahta. Saya lihat tidak ada warga yang bermain-main di lapangan depan gedung. Pagar tinggi seolah membatasi kahyangan dan bumi tempat rakyat berdiam diri.
Ada yang unik di sepanjang jalan, kulihat setiap 300 meter ada masjid. Kota yang begitu religius pikirku. Semoga isi jamaahnya tidak kosong seperti pertunjukkan wayang di kampung-kampung.
Setelah beberapa menit jalan kaki, akhirnya Saya sampai di terminal yang saya injak kemarin. Saya tanya ke bapak-bapak agen bus.
“Bang, ada bus yang ke Banda Aceh?”
“Tidak ada, Bang. Dari Takengon tidak ada bus yang ke Banda Aceh, ada juga L300.”
L300, mobil lama buatan Mitsubishi, mirip mobil kombi volkswagen versi pendek, atau mobil Suzuki Carry versi agak panjang. Biasanya mobil jenis ini digunakan untuk mobil ambulance. Muat 11 orang penumpang di dalamnya.
“Oh, gitu.”
“Kalau mau naik L300, pakai agen yang itu saja. Mobilnya masih bagus - bagus.” Abang agen tadi menunjuk sebuah bangunan paling pojok kiri.
“Oke Bang, terima kasih.”
Saya sudah dapat tiket L300 tujuan Banda Aceh, berangkat nanti malam pukul 8. Saya tukar tiket tersebut dengan harga 130 ribu bayar di muka.
Waktu menunjukkan pukul 10 pagi, masih banyak waktu menuju pukul 8 malam nanti. Saya langkahkan kakiku menuju penginapan. Tepat di depan terminal Takengon ada kedai kopi. Saya putuskan untuk singgah sebentar menyeruput kopi khas Takengon. Kopi yang katanya paling enak sejagat raya.
“Ada apa Bang?” Kata kakak penjaga kedai.
“Kopi, Kak. Satu saja.”
“Oke, tunggu sebentar ya.”
Sambil menunggu kopi datang, saya berselancar di internet. Beberapa menit kemudian kakak penjaga kedai mengantarkan kopi pesanan. Satu cangkir kopi berisi kopi hitam pekat, satu cangkir lagi berisi gula pasir.
“Ini kopi asli Takengon ya Kak?” Tanya saya.
“Iya, kopi Gayo Arabika.”
Berlibur ke Takengon Aceh Tengah
Dok. Pribadi

Kakak penjual pergi, saya tak sabar ingin segera menyeruput kopi panas ini. Saya masukkan beberapa sendok gula ke dalam cangkir kopi, Saya aduk sebentar lalu saya biarkan sejenak sampai ampasnya mengendap di bawah. Sambil menungggu itu, Saya bakar kretek wismilak sebagai teman ngopi.
Ampas kopi sudah mengendap, saatnya saya sruput kopi ini. Setelah Saya minum, srupuuutttt...
“Gila!”
Eureka!!!!!!
Akhirnya saya merasakan kopi yang benar-benar kopi. Mantap. Kopi Takengon memang tak ada bandingannya. Pantas saja dulu kenapa Archimedes bisa lari telanjang seperti orang gila. Dia pasti habis minum kopi Gayo arabika. Coba saja Iwan Fals yang minum kopi ini, pasti lirik lagu - lagunya lebih sangar dibanding sekarang - sekarang ini.
Kopi di sini tidak seperti di Jawa, lebih hitam, pekat dan kental. Tidak seperti air kobokan, tidak seperti air sungai Cimanuk ketika sedang meluap. Rugi sekali kalau kita jauh - jauh ke Aceh Tengah tidak sempat mencicipi nikmatnya kopi Gayo arabika.
Kopi dan rokok habis, saya mau pulang ke penginapan. Saya taksir harga kopi seenak ini pasti puluhan ribu, kira-kira di atas 25 ribu. Namun, ternyata setelah kutanyakan harga kepada penjualnya tidak semahal itu.
“Berapa ini, Kak?”
“5 ribu rupiah, Bang.”
Hah? Wait, what?... kopi sedahsyat ini cuma 5 ribu. Jauh lebih murah dari kopi tahi luwak dan statrbucks yang dijual di cafe - cafe dan restoran. Saya merasa tidak enak kalau cuma bayar 5 ribu. Saya putuskan membeli satu kantong kopi untuk dikirim ke orang tua di Cirebon sana.
*****
Malam pun tiba, saya sudah check out walau jatah waktu menginapku belum habis. Tak apalah. Saya tunggu mobil jemputan L300 yang akan membawa saya ke Banda Aceh di depan penginapan. Lagi dan lagi ngaret, pukul 9 mobil baru datang. Saya berangkat menuju Banda Aceh.
Keluar dari Takengon, saya tak sadarkan diri.
Bila ada yang tertinggal biarlah ia rindu yang kutitipkan lewat daun dan deru bus antar kota. Takengon, aku rindu. Saya ingin sekali kembali ke kotamu bersama Hurun, kekasihku.


Note : Tulisan ini pernah diposting di kompasiana pada tahun 2015

Location: Slendra, Gegesik, Cirebon, West Java, Indonesia

0 comments:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html