Malam hari berbaring di atas ranjang, liburan
sekolah semester ganjil. Sudah 5 hari saya menginap di rumah Pak Ngatemin, di
Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang. Beliau adalah teman mengajar saya di
pedalaman Aceh Timur. Sebagai orang Jawa, saya memiliki rasa pakewuh,
sungkan dan tidak enak hati kalau terlalu lama bertamu di rumah orang.
Malam itu juga saya putuskan esok hari
harus segera pamit. Entah mau kemana tujuanku. Hendak pulang ke Pedalaman Aceh
Timur tidak bisa, Jalanan Peureulak - Peunaron banjir. Jalanan tak mungkin bisa
dilewati. Mau mampir ke teman-teman SM3T, mereka juga terisolir karena banjir.
Akhirnya saya putuskan, besok melancong
ke Takengon, Aceh Tengah seorang diri.
Keesokan harinya, Saya pergi ke tempat
transit bus di Kuala Simpang menanyakan kapan keberangkatan bus ke Takengon dan
berapa harganya. Ternyata setelah Saya tanyai agen bus, bus-bus antar kota di
Aceh kebanyakan bergerak pada malam hari. Saya beli tiket bus Mandala tujuan Medan
- Takengon, berangkat pukul 10 malam. Dengan mahar 130 ribu tiket bus saya
tebus di Kuala Simpang, Aceh Tamiang.
Di Indonesia jam karet masih berlaku.
Jarum jam di tangan kiriku menunjukkan pukul 11 malam. Beberapa menit kemudian
bus datang. Saya masuki bus dari pintu depan. Di bangku paling depan saya lihat
perempuan berkerudung, berhidung mancung, berkulit putih, elok parasnya.
Perempuan paling cantik yang pernah Saya lihat sepanjang hidup saya. Saya ingat
Hurun, kekasihku di Cirebon.
Penumpang bus lumayan sepi, saya duduk di
kursi 3 tempat duduk, barisan tengah sebelah kanan bersandar ke jendela. Di
sepanjang perjalanan setelah kota Langsa, jalanan digenangi banjir. Peureulak,
Idi, Lhokseumawe terlewati. Kondektur bus memutar lagu Aceh ber-ritme lambat
membawaku berkhayal tentang tragedi tsunami beberapa tahun lalu.
Air hujan malam itu basahi jendela,
seperti air mata ibu yang membasahi dinding nurani. Dari balik jendela saya
menerawang ke sudut-sudut jalanan. Sorot lampu mobil-mobil dari arah depan
tampak seperti kunang-kunang berkejaran.
Lampu merkuri jalanan terlihat redup,
suram seperti malam sehabis bencana. Bus yang dingin mengajakkku berselimut.
Sedangkan mata saya belum juga mau tertutup.
Walau sempat melewati pemandangan banjir
sepanjang perjalanan yang membosankan, perjalanan menuju Takengon memberi kesan
tersendiri. Sendiri di kota asing, sunyi sekali. Selalu ada kesunyian dari
setiap perjalanan. Untunglah malam itu pesan singkat kekasihku menemani
sepanjang jalan.
Di bangku depan, pak sopir berbicara
dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Muda - mudi asyik bercanda di bangku
barisan depan seolah mengejekku yang duduk sendiri.
Waktu menunjukkan pukul 2 pagi. Suasana
bus hening. Setelah Lhokseumawe saya tak ingat lagi. Dini hari, sempat saya
melihat perempuan berkerudung yang saya lihat di awal, turun dari bus entah di
daerah mana. Dalam hati kecil saya berharap suatu saat bisa melihat dia lagi.
Sekitar 8 jam di dalam bus membuat kaki
dan badanku kaku untuk digerakkan. Sebelum tiba di Takengon saya sempat
disuguhkan pemandangan yang membuat mata tak berkedip. Sebelah kanan tebing,
sebelah kiri jurang. Sebelah kiri agak jauh terlihat siluet gunung api
Geureudong gagah menjulang. Jalanan yang sempit ini mengingatkanku pada jalan
cadas pangeran, Sumedang.
![]() |
Gn. Geureudong, atau orang Gayo menyebutnya Bur ni Geureudong |
Pukul 7 pagi saya tiba di terminal
Takengon. Saya turun dari pintu belakang bus. Kulihat di pojokkan ada mushola
kecil, saya berniat hendak buang air kecil dan cuci muka. Sial! Ternyata
mushola ditutup. Buat apa dibikin mushola kalau tidak boleh digunakan. Tak
tahan menahan ‘rasa rindu’ ini saya mencari tempat yang sepi lalu buang air kecil
dan mencuci muka dengan air mineral yang kubawa dari Kuala Simpang.
Setelah lega, saya cari bentor (becak
motor) untuk mengantarkanku mencari penginapan yang harganya terjangkau. Oh,
iya. Bagi pendatang di daerah Aceh jangan takut untuk menanyakan harga jasa
bentor lalu menawarnya jika dirasa terlalu kemahalan. Jika tidak, bisa-bisa
kita diketok dengan harga yang cukup membuat kita menghela napas.
Setelah mengambil uang di ATM, saya
ditunjukkan ke sebuah penginapan di jalan Lembaga, Takengon. Setelah membayar
ongkos bentor saya bertanya kepada kakak penjaga penginapan. Di Aceh panggilan
kakak ditujukan kepada perempuan yang lebih tua dari kita.
“Ada kamar kosong, Kak?”
“Ada, untuk berapa malam?”
“Sekitar 2 malam.”
“Mau yang kamar mandi di luar atau di
dalam?”
Saya balik bertanya.
“Kalau kamar mandi di dalam berapa, di
luar berapa?”
“Kamar mandi dalam 100 ribu per malam,
yang luar 60 ribu per malam.”
“Oke deh, saya ambil kamar mandi luar
saja, untuk 2 malam Kak."
“Boleh pinjam KTP Abang? O, iya. Bayarnya
langsung di muka ya.”
“Oke, ini KTP-ku. Ini 120 ribu.”
Syukurlah dapat penginapan yang cukup
murah. Setelah selesai administrasi saya ditunjukkan ke kamar yang hendak saya
tempati. Kamarnya berada di lantai 2, kamar nomor 8. Ruangan yang cukup sempit
bercat merah muda, berlampu neon watt kecil, dinding-dindingnya terbuat dari
papan triplek. Mempunyai 2 tempat tidur, satu ranjang hanya muat untuk 1 orang.
Tak perlu ac, Takengon sudah dingin.
Kondisi jam 8 di Takengon seperti jam 6
pagi di Bandung. Penginapan tempatku menginap terletak di pusat kota jadi tak susah
untuk pergi kemana-mana. Cukup by foot saja.
![]() |
Tulisan Gayo Highland dari kejauhan |
Berbicara tentang Takengon, tidak lepas
dari wanita-wanitanya yang berhidung mancung, putih, manis dan cantik. Wanita
dari etnis Gayo di sini berbeda dengan wanita etnis Gayo di Aceh Timur. Wanita
gayo di sini putih-putih, mungkin karena suhu udara di Takengon jauh lebih
sejuk daripada Aceh Timur. Bagi laki-laki yang ingin memperbaiki keturunan,
disarankan menikahi wanita Gayo di Takengon. Hehehe..
****
Masuk kamar penginapan saya merebahkan
badan di kasur yang tidak empuk itu.
“Fiuh.. Capek sekali.”
Setelah puas merebahkan badan saya
bersiap-siap untuk mandi.
Sial! Suhu air di sini menusuk tulang.
Padahal sudah jam 9 pagi. Dinginnya melebihi di pelosok Cimahi pukul 4 pagi
beberapa tahun silam. Tak mau kalah dengan rasa dingin akhirnya saya beranikan
diri untuk mandi.
Setelah mandi dan berganti pakaian, saya
membeli sarapan di depan penginapan. Duduk menghadap ke selatan disuguhi
pemandangan bukit hijau nan permai. Hmm.. Indahnya hidup ini.
Setelah sarapan Saya berniat berjalan
kaki memutari kota Takengon. Kesan pertama ketika melihat sekeliling kota ialah
Takengon cukup bersih serta tata kotanya tertata rapi. Berkunjung ke suatu kota
yang baru dikunjungi tidak lengkap jika tidak mengunjungi perpustakaan daerah.
Menurutku, perpustakaan bisa menjadi tolak ukur seberapa jauh warga kota
tersebut menyukai buku.
Perpustakaan yang terletak di jalan Yos
Sudarso itu menyuguhkan pemandangan potret-potret Takengon zaman doeloe sampai
sekarang di lantai dasarnya. Di lantai selanjutnya, barulah banyak buku
berjajar di raknya. Saya lihat satu per satu judul buku tersebut, akhirnya saya
lebih memilih duduk ngendon di rak buku sastra. Banyak buku-buku karya Umar
Kayam, Pramoedya, dan lain-lain. Sungguh menggairahkan sekali.
Puas saya baca-baca buku, saya
melanjutkan agenda selanjutnya yaitu mengunjungi keindahan Danau Lut Tawar.
Tidak jauh dari perpustakaan, sekitar 1 kilometer. Danau ini adalah Laut bagi
etnis Gayo. Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami pegunungan di Aceh
Tengah. Etnis Gayo secara mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah, Bener
Meriah, Gayo Lues, sebagian lagi di Kabupaten Aceh timur di kecamatan Lokop dan
Serbajadi. Etnis Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat agamanya.
Etnis pribumi yang menyingkir ke
lereng-lereng gunung, dataran tinggi, perbukitan dan ke dalam hutan belantara
akibat pendatang di pesisir pantai Aceh. Seperti nasib etnis Betawi yang mulai
tersingkir oleh pendatang. Bisa jadi begitu, atau bukan versi yang itu
sejarahnya. Menurut versi saya sendiri, orang-orang Gayo Takengon lebih maju
peradabannya dibandingkan dengan orang-orang pesisir sehingga memilih
daerah-daerah tinggi yang tanahnya subur seperti suku Inka di Machu Picchu,
Peru.
Berjalan kaki dari perpustakaan ke Danau
Lut Tawar cukup membuat kaki lelah, tetapi badan tidak berkeringat karena udara
yang cukup dingin. Sebelum memasuki wilayah danau Lut Tawar, kita akan melewati
sebuah Tugu, lalu melewati sebuah jembatan yang mengangkangi sebuah sungai yang
alirannya berasal dari danau Lut Tawar ini.
Jalanan menuju Danau Lut Tawar ini cukup
bagus, sudah beraspal. Sebelah kanan kita akan disuguhi oleh bukit curam yang
menjulang tinggi. Sebelah kiri kita akan disuguhi oleh luasnya danau Lut Tawar
yang berkabut. Sebelah kiri agak jauh telihat siluet perbukitan yang hitam.
Berjalan menyusuri pinggiran danau tidak
terasa matahari sudah menyurup ke peraduannya, Saya pulang ke penginapan.
Kegiatanku melancong di Takengon akan kulanjutkan esok hari.
Sesampainya di penginapan Saya langsung
mandi untuk mengusir lelah dan keringat yang menempel di tubuh ini. Sore hari,
air di dalam bak mandi bertambah dingin. Brrrr... Segar. Suasana di luar sedang
gerimis, perutku lapar. Saya keluar ke depan, ternyata kedai di depan
penginapan tutup. Sial! Saya kembali ke kamar mengambil jas hujan lalu saya pakai
untuk membeli nasi goreng di Jalan Yos Sudarso, dekat perpustakaan.
Saya memutuskan untuk makan di penginapan,
nasi goreng kubawa pulang. Sesampainya di penginapan nasi goreng tadi langsung saya
lumat habis dalam hitungan menit. Rasa nasi goreng di sini berbeda dengan di
Jawa. Di jawa, biasanya rasa nasi goreng itu manis, di Aceh, mungkin di seluruh
Sumatera, nasi goreng berasa sangat pedas. Di Jawa biasanya telur ceplok
diorak-arik, lalu diaduk-aduk dicampur dengan nasi, di sini tidak. Telur
didadar seperti biasa lalu ditaruh di atas nasi.
Usai makan saya menonton teve yang
disediakan oleh penginapan di ruang tamu sambil bercengkerama dengan penginap
lain. Bosan menonton teve, saya putuskan untuk tidur. Kamar yang gelap dan
pengap menjaga saya agar tetap hangat di Takengon yang dingin.
*****
Pagi harinya.
Pagi - pagi sekali saya sudah mandi dan
keluar dari penginapan. Berjalan - jalan melihat pasar pagi di dekat tugu yang
kemarin saya lewati. Tugu Aman Dimut di depan Masjid Agung Takengon. Banyak
barang - barang yang dijajakan, mulai dari sayur mayur, sampai pakaian dalam
perempuan. Dengar dari pembicaraan orang-orang di pasar, saya tangkap tutur
kata yang keluar dari mulut mereka sangat lembut melebihi Bandung. Takengon,
menurutku wajah Indonesia yang sesungguhnya. Ketika konflik Aceh terjadi, di
sini tenang - tenang saja. Penduduk Gayo dan Jawa bersatu padu melawan gerakan
separatis, lebih memilih tetap menjadi bagian dari NKRI.
Keluar dari pasar saya mengunjungi toko
souvenir. Saya tertarik dengan kaos warna hitam bertuliskan Gayo Highland, di
bawahnya terdapat gambar motif batik khas Takengon yang juga menjadi motif di
tembok - tembok instansi pemerintahan. Kalau di lihat sekilas, motif ini mirip
sekali dengan motif batik etnis Dayak Kalimantan. Saya tanya harga kepada
Abang-abang penjaga toko souvenir.
“Bang, yang ini berapa?”
“80 ribu, dek.”
“Gak bisa kurang?”
“Tidak bisa, sudah harga pas.”
Sial! Mahal sekali kaos itu untuk ukuran
kantong orang seperti saya. Gaji dari DIKTI belum cair pula, Hufftt.. Saya
menghela napas dalam – dalam.
“Ya sudah Bang, nanti aja deh.”
Suatu saat nanti saya akan beli kaos ini
pikirku dalam hati. Saya nyelonong pergi. Dari situ saya langsung menuju
terminal bus Takengon yang kemarin, sebab tujuanku selanjutnya ialah Banda
Aceh. Sebentar lagi bertepatan dengan peringatan 10 tahun tsunami.
Di sepanjang jalan saya tengok kanan
kiri, di sebelah kiri ada gedung kantor bupati Aceh Tengah. Kesan pertama
ketika melihat bangunan ini seperti gedung angker tempat sang Dewa bertahta. Saya
lihat tidak ada warga yang bermain-main di lapangan depan gedung. Pagar tinggi
seolah membatasi kahyangan dan bumi tempat rakyat berdiam diri.
Ada yang unik di sepanjang jalan, kulihat
setiap 300 meter ada masjid. Kota yang begitu religius pikirku. Semoga isi
jamaahnya tidak kosong seperti pertunjukkan wayang di kampung-kampung.
Setelah beberapa menit jalan kaki,
akhirnya Saya sampai di terminal yang saya injak kemarin. Saya tanya ke
bapak-bapak agen bus.
“Bang, ada bus yang ke Banda Aceh?”
“Tidak ada, Bang. Dari Takengon tidak ada
bus yang ke Banda Aceh, ada juga L300.”
L300, mobil lama buatan Mitsubishi, mirip
mobil kombi volkswagen versi pendek, atau mobil Suzuki Carry versi agak
panjang. Biasanya mobil jenis ini digunakan untuk mobil ambulance. Muat 11
orang penumpang di dalamnya.
“Oh, gitu.”
“Kalau mau naik L300, pakai agen yang itu
saja. Mobilnya masih bagus - bagus.” Abang agen tadi menunjuk sebuah bangunan
paling pojok kiri.
“Oke Bang, terima kasih.”
Saya sudah dapat tiket L300 tujuan Banda
Aceh, berangkat nanti malam pukul 8. Saya tukar tiket tersebut dengan harga 130
ribu bayar di muka.
Waktu menunjukkan pukul 10 pagi, masih
banyak waktu menuju pukul 8 malam nanti. Saya langkahkan kakiku menuju
penginapan. Tepat di depan terminal Takengon ada kedai kopi. Saya putuskan untuk
singgah sebentar menyeruput kopi khas Takengon. Kopi yang katanya paling enak
sejagat raya.
“Ada apa Bang?” Kata kakak penjaga kedai.
“Kopi, Kak. Satu saja.”
“Oke, tunggu sebentar ya.”
Sambil menunggu kopi datang, saya
berselancar di internet. Beberapa menit kemudian kakak penjaga kedai
mengantarkan kopi pesanan. Satu cangkir kopi berisi kopi hitam pekat, satu
cangkir lagi berisi gula pasir.
“Ini kopi asli Takengon ya Kak?” Tanya saya.
“Iya, kopi Gayo Arabika.”
Ampas kopi sudah mengendap, saatnya saya
sruput kopi ini. Setelah Saya minum, srupuuutttt...
“Gila!”
Eureka!!!!!!
Akhirnya saya merasakan kopi yang
benar-benar kopi. Mantap. Kopi Takengon memang tak ada bandingannya. Pantas
saja dulu kenapa Archimedes bisa lari telanjang seperti orang gila. Dia pasti
habis minum kopi Gayo arabika. Coba saja Iwan Fals yang minum kopi ini, pasti
lirik lagu - lagunya lebih sangar dibanding sekarang - sekarang ini.
Kopi di sini tidak seperti di Jawa, lebih
hitam, pekat dan kental. Tidak seperti air kobokan, tidak seperti air sungai
Cimanuk ketika sedang meluap. Rugi sekali kalau kita jauh - jauh ke Aceh Tengah
tidak sempat mencicipi nikmatnya kopi Gayo arabika.
Kopi dan rokok habis, saya mau pulang ke
penginapan. Saya taksir harga kopi seenak ini pasti puluhan ribu, kira-kira di
atas 25 ribu. Namun, ternyata setelah kutanyakan harga kepada penjualnya tidak
semahal itu.
“Berapa ini, Kak?”
“5 ribu rupiah, Bang.”
Hah? Wait, what?... kopi sedahsyat
ini cuma 5 ribu. Jauh lebih murah dari kopi tahi luwak dan statrbucks yang
dijual di cafe - cafe dan restoran. Saya merasa tidak enak kalau cuma bayar 5
ribu. Saya putuskan membeli satu kantong kopi untuk dikirim ke orang tua di
Cirebon sana.
*****
Malam pun tiba, saya sudah check out
walau jatah waktu menginapku belum habis. Tak apalah. Saya tunggu mobil
jemputan L300 yang akan membawa saya ke Banda Aceh di depan penginapan. Lagi
dan lagi ngaret, pukul 9 mobil baru datang. Saya berangkat menuju Banda Aceh.
Keluar dari Takengon, saya tak sadarkan
diri.
Bila ada yang tertinggal biarlah ia rindu
yang kutitipkan lewat daun dan deru bus antar kota. Takengon, aku rindu. Saya
ingin sekali kembali ke kotamu bersama Hurun, kekasihku.
Note : Tulisan ini pernah diposting di
kompasiana pada tahun 2015
0 comments:
Post a Comment