![]() |
Kolam biru Rerebe, Gayo Lues, Aceh |
Ini kisah pengalaman kami ketika menjadi
pengabdi pendidikan, SM3T (Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar,
Tertinggal) di pedalaman Aceh Timur. Kala itu pembelajaran di semester dua
sudah berakhir, kami berinisiatif mengisi waktu liburan dengan mengunjungi
Dataran Tinggi Takengon, Aceh Tengah. Saya sendiri sudah pernah ke sana saat
liburan semester pertama, sedangkan kawan-kawanku belum. Saya ingin ke sana
lagi karena rindu dengan kotanya yang nyaman. Namun kali ini tidak menggunakan
kendaraan umum, kami menggunakan sepeda motor.
Kami berangkat berempat. Dadan dan Ana, mereka
kawan SM3T, Ayub murid SMA tempat Ana dan Dadan mengajar, terakhir saya
sendiri. Kami menggunakan 2 sepeda motor, Dadan dengan Ana menggunakan Yamaha
V-ixion, saya berboncengan dengan Ayub menggunakan Satria FU.
Kami berencana tidak melewati jalan lintas
timur Sumatera. Lhoksukon, Lhokseumawe, Bireun, kami tinggal. Jalan lintas
timur Sumatera kami cadangkan untuk rute pulang setelah dari Takengon. Kami
mencoba menyusuri jalan mega proyek Ladia Galaska. Proyek kontroversial. Proyek
jalan yang menghubungkan Lautan Hindia, dataran tinggi Gayo, Alas, lalu selat Malaka.
Proyek jalan ini direncanakan membelah konservasi Taman Nasional Gunung Leuser,
taman nasional terluas yang menjadi warisan dunia. Taman Nasional yang
baru-baru ini didatangi oleh Leonardo de Caprio.
Perjalanan kami dimulai dari Bayeun, Aceh
timur. Bayeun terletak di jalan lintas timur Sumatera yang menghubungkan Medan
– Banda Aceh.
Kami sadar hal yang paling penting sebelum melaksanakan
perjalanan ialah persiapan. Kami membawa pakaian ganti secukupnya, hanya untuk
2 hari menginap. Celana jeans itu suatu keharusan, lalu jaket untuk menahan
terpaan angin selama di perjalanan. Sepeda motor kami servis, sehari sebelum
berangkat. Lalu dengan bermodal Bismillah kami berangkat.
Motor kami melaju di atas aspal Jalan lintas
timur Sumatera ke arah Banda Aceh. Di awal-awal perjalanan kami berhenti di
salah satu SPBU untuk mengisi bensin, sebagai santapan sepeda motor kami selama
di perjalanan. Setelah tangki sepeda motor kami terisi penuh, kami melanjutkan
perjalanan menyetubuhi Jalan Lintas timur Sumatera ini. Satu jam kemudian kami
sampai di Peureulak, salah satu kecamatan di Kabupaten Aceh Timur.
Peureulak
Peureulak ialah salah satu kecamatan di Aceh
Timur. Mayoritas penduduknya ialah suku bangsa Aceh. Pada zaman Gerakan Aceh
Merdeka dan diberlakukannya darurat militer tahun 2000-an, daerah ini sangat
rawan umumnya bagi orang-orang dari Jawa. Ada semacam rindu dendam tersendiri
kepada suku Jawa, entah kenapa sebabnya saya tak tahu. Mungkin akibat dari
ketimpangan pembangunan salah satunya.
Peureulak pada zaman dahulu ialah sebuah
kerajaan islam pertama di Indonesia yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak,
Aceh Timur antara tahun 840-1292M. Letaknya persis menghadap langsung ke selat
Malaka. Dinamakan Peureulak sebab daerah ini dahulu kala sebagai suatu daerah penghasil
kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal.
Zhao Rugua pada tahun 1225 mengutip catatan
seorang ahli geografi, Chou Ku-fei, bahwa ada negeri orang Islam yang jaraknya
hanya lima hari pelayaran dari Jawa. Mungkin negeri yang dimaksudkan adalah
Peureulak, sebab Chu-fan-chi menyatakan pelayaran dari Jawa ke Brunei memakan
waktu 15 hari. Eksistensi negeri Peureulak ini diperkuat oleh musafir Venesia
yang termasyhur yaitu Marcopolo, satu abad kemudian dalam bukunya the Travel
of Marcopolo. Ketika Marco Polo pulang dari China melalui jalur laut pada
tahun 1291, dia singgah di negeri Ferlec yang sudah memeluk agama Islam.
Sampai di Peurlak, kami langsung melanjutkan
perjalanan untuk menyusuri jalan Ladia Galaska. Kami tidak berbelok ke arah
Gampong Paya Meuligo, sebuah Gampong yang terdapat bangunan monumen bersejarah
yang lebih dikenal dengan Monisa, Monumen Islam Asia Tenggara. Kami sudah
sering mengunjungi tempat ini.
Benar dengan apa yang dibicarakan banyak orang,
di Monisa terdapat makam bersejarah, yakni Makam Sultan Alaidin Said Abdul
Azizsyah. Sultan Alaidin bersama istri Putri Meurah Mahdum Hudawi merupakan
pendiri kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara pada 1 Muharram 225 sampai 249
H atau 840 hingga 864 Masehi. Dari gelar “Syah” di belakang namanya,
terlihatlah bahwa sultan ini berasal atau keturunan dari Persia yang bermadzhab
Syiah. Pernah lututku bergetar hebat ketika di dekat kuburan Sang Sultan ini.
Entah ada apa gerangan.
Tepat di gampong Beusa Seberang, Peureulak
Barat kami belok ke kiri ke arah Peunaron dan Lokop. Inilah titik awal Jalur
Ladia Galaska yang akan kami susuri. Kota pertama tempat tujuan kami menginap
adalah Blangkejeren, ibukota kabupaten Gayo Lues.
Motor kami melaju kencang menembus jalanan
Peureulak barat, lalu kecamatan Rantau Peurlak, setelah itu Peunaron. Tidak ada
cerita yang berarti saat melewati Peurlak barat sampai peunaron, kami sibuk
dengan lamunan kami masing-masing. Hanya saja sepanjang jalan kami disuguhi
pesawahan yang luas, rumah-rumah dari kayu yang beratapkan seng, jalanan aspal
yang lumayan sudah rusak, lalu sedikit pepohonan karet, kelapa sawit dan jabon
di kiri kanan jalan. Satu jam dari Peurlak, sekitar 40 km kami tiba di
Kecamatan Peunaron. Masuk ke Peunaron kami disuguhi wangi biji coklat yang
sedang dijemur di pinggir jalan.
Peunaron
Satu nama tempat yang terdengar akrab bagi
mereka yang meminati kajian-kajian sejarah permulaan islam yang pertama kali
datang di pantai timur Sumatera. Bagiku juga tidak asing, sebab Peunaron ialah
kecamatan tempatku ditugaskan mengabdi. Walaupaun desa atau gampong
tempatku bertugas masih jauh lagi sekitar 15 km ke pedalaman Peunaron.
Peunaron pada zaman dahulu ialah salah satu
daerah yang masuk dalam wilayah kerajaan Peureulak, saat Kerajaan Peurlak
dibagi dua. Peurlak pesisir dikuasai oleh sultan yang bermadzhab Syiah,
sedangkan Peurlak pedalaman bermadzhab Sunni yang diyakini berdiri di sekitar
Peunaron.
Paska kemerdekaan Indonesia, Peunaron adalah
rimba belantara dan rawa-rawa sunyi. Barulah pada tahun 1980-an diubah menjadi
daerah transmigrasi pada era the smiling General Soeharto.
Asal muasal daerah ini dinamai Peunaron sebab
dari dulu sampai sekarang terkenal dengan kesuburannya. Berbagai hasil alam
diperoleh di sini. Orang yang datang ke sini dulunya mengambil semua hasil alam
yang mungkin mereka peroleh lalu mereka ikat ke punggung mereka. Itulah
sebabnya tempat ini disebut dengan pu-na-run (Bahasa Gayo, -red).
Peunaron atau kalau dalam bahasa Gayo disebut
Punarun, adalah nama sebuah kecamatan yang terdapat di kabupaten Aceh Timur.
Kecamatan ini merupakan hasil pemekaran dari kecamatan Serbajadi. Wilayahnya
berjarak sekitar 86 km dari kota Langsa atau 2-3 jam perjalanan menggunakan
kendaraan roda 4. Dari jumlah penduduknya, 40% adalah suku bangsa Gayo, 40%
Jawa dan Sunda, 20% Aceh, Minangkabau dan batak. Setiap suku bangsa menggunakan
bahasanya sendiri. Umumnya memakai bahasa indonesia.
Tiba di dekat Kantor Camat Peunaron, motor kami
ingin segera istirahat, kami menepi di sebuah kedai bakso. Demi mengganjal
perut yang dari tadi pagi belum terisi. Sekitar 1 jam kami duduk santai di
Kedai, setelah makanan di perut turun kami melanjutkan perjalanan ke selatan,
ke arah Lokop, Serbajadi.
Lokop, Serbajadi
Menjauhi Peunaron perjalanan kami mulai
disuguhi dengan jalanan yang menanjak dengan aspal yang sudah rusak. Deru motor
kami membelah perkampungan-perkampungan yang sunyi, sesekali harus minggir ke
kiri untuk mempersilakan truk-truk pengangkut kayu gelondongan dari pedalaman
hutan lewat.
Sampai di Gampong Kuala Pangoh kami melewati
jembatan yang mengangkangi Sungai Bunin yang lumayan lebar. Airnya mengalir
deras dan jernih. Kami tak sempat singgah, kami seolah dikejar waktu sebab
jangan sampai terjebak tengah malam di belantara rimba Lokop, Aceh Timur –
Pining, Gayo Lues.
Mendekati Lokop handphone kami sudah
mulai tidak bisa menangkap sinyal, mungkin keberadaan kami pun sudah tidak
tertangkap oleh satelit. Sepanjang perjalanan di kiri jalan adalah tebing, di
kanan jalan, jurang. Jauh di seberang kanan kami terlihat siluet gunung
Sembuang sekitar 1.615 mdpl, biru hitam menyeramkan. Ini rimba belantara asli,
masih dihuni oleh Datuk, atau gajah-gajah liar Sumatera dan Si Raja rimba Panthera
Tigris Sumatrae atau harimau Sumatera. Sayang sekali keberadaan mereka
tinggal sedikit, data terakhir hanya ada 400-an ekor Harimau Sumatera yang
masih hidup.
Bau durian tercium hingga menusuk hidung kami
saat kami hendak masuk wilayah Lokop, bulan agustus adalah bulan panen durian
bagi warga Lokop. Jangan kaget kalau harga durian di sini murah sekali, 5 ribu
rupiah bisa dapat 2 buah durian. Paling sedikit 5 ribu dapat satu buah. Apalagi
kalau kita mengaku sebagai orang Gayo, bisa-bisa diberi buah sampai
sekenyang-kenyangnya.
Akhirnya kami sampai di Lokop, Sebuah kecamatan
terpelosok di ujung paling barat kabupaten Aceh Timur. Mayoritas penduduknya
ialah Orang Gayo. Orang Gayo sendiri berarti orang Gunung. Suku bangsa Gayo di
Lokop masih satu keturunan dengan orang Gayo di Takengon, Aceh Tengah. Di sini,
terdapat beberapa kawan kami yang ditugaskan menjadi pendidik di SMP dan SMK.
Lokop, zaman dahulu ialah sebuah kerajaan Islam
kecil. Nama Lokop berasal dari bahasa Gayo, Lukup yang artinya buah mangga
hutan. Serbajadi berasal dari kata bejadi yang berarti semoga menjadi (tumbuh
subur).
Sebelum abad ke 12 M di Lokop ada Kerajaan yang
namanya Kerajaan Syech Mursyid Merah Habox yang sekarang di kenal dengan
sebutan gelar Munyang Tualang. Pada waktu itu Syech Merah Habox sebagai ulama
besar membawa syiar agama Islam, sewaktu beliau pertama membuka Negeri Lokop
Serbajadi yang baru ada di sana hanyalah buah mangga hutan (lukup), jadi
setelah koordinasi dengan teman-temannya, serentak menjawab ‘bejadi’ yang
artinya walaupun belum ada buah-buahan lain untuk dimakan dengan buah lukup
ini, negeri ini tetap jadi (yang sekarang di sebut Lokop, Serbajadi).
Tak sempat kami bertamu dan bertemu dengan
teman kami, kami harus melanjutkan perjalanan membelah belantara rimba
perbatasan Aceh Timur dan Gayo Lues.
*****
Mencari Saman di Pining
Menuju Kampung Pining, dengan medan yang
sedikit agak ekstrim, dibutuhkan kehati-hatian, kami disuguhi dinding tebing
yang sunyi dan jurang yang dalam selama perjalanan. Tidak ada tanda-tanda
kehidupan, maksudku tidak ada tanda-tanda orang yang bermukim di sepanjang
perjalanan kami. Sempat kami berputus asa sebab yang kami temui hanyalah
beribu-ribu bukit yang tak ada putusnya.
![]() |
Sesekali berfoto untuk mengabadikan momen |
Motor kami hentikan ketika melihat ada mata air
yang mengalir dari dinding tebing, kami berhenti sejenak hanya sekadar
meluruskan punggung dan membasuh muka. Tak lupa pula kami mengabadikan momen
kami dengan ribuan bukit jadi backgroundnya. Gila, Indahnya pedalaman Aceh, It’s
amazing.
Pining, sebuah nama kecamatan di ujung bagian
timur kabupaten Gayo Lues. Ada kabar di sini tempat dilahirkannya tari Saman
yang menjadi warisan budaya Dunia oleh UNESCO. Tari yang menurutku sangat
menakjubkan, setiap gerakan penarinya yang kompak dan serempak mengandung unsur
mistis. Beberapa kali saya dibikin merinding saat melihat pertunjukkan tari
Saman ini.
Agak jengkel juga ketika mendengar orang-orang
di seantero Indonesia, Tari Saman berasal dari Aceh yang yang ditarikan oleh
perempuan dengan baju yang warna-warni, itu bukan Tari Saman! Tari Saman
berasal dari Gayo, suku bangsa Gayo. Memang sih Gayo termasuk dalam Provinsi
Aceh. Namun, suku bangsa Gayo bukan Suku bangsa Aceh.
Jalanan berliku, panorama alam nan indah,
menyimpan sejuta pesona dari ufuk barat hingga ke timur yang terus memikat
mata, dengan hamparan nan luas, cuaca yang bersahabat sedikit agak panas. Ada yang
lebih unik dan asoi, ketika kita memandang Pining dari lembah Atu Kapur,
terlihat sebuah areal luas yang membentang, lembah di apit dengan beragam
gunung dan perbukitan-perbukitan kecil.
![]() |
Mengabadikan momen, Jembatan yang membelah sungai sebelum masuk Pining, Gayo Lues |
Itulah sekilas keadaan Pining saat ini, dan
sampai saat ini juga masih menjadi kecamatan yang paling terisolir di Kabupaten
Gayo Lues, dengan angka pendidikan yang masih rendah, mutu pendidikan yang
masih jauh dari kata layak untuk mengikuti perkembangan kurikulum masa kini.
Kami mendapat kabar kalau di Pining juga terdapat
SM3T yang ditugaskan di sini, tetapi berbeda dengan kami yang dari UPI Bandung,
yang ditugaskan di kabupaten Gayo Lues termasuk Pining adalah dari Universitas
Negeri Yogyakarta.
Kami tak sempat bertemu mereka, kami
melanjutkan perjalanan menuju kota Blangkejeren, Ibukota Gayo Lues.
Dari Pining kami menuju Blangkejeren, ibukota
kabupaten Gayo Lues, Aceh. Meninggalkan kecamatan Pining tentu tak bisa lepas
dari kontroversi mega proyek Ladia Galaska. Sebab, Pining adalah pintu masuk
kita ke dalam kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Lalu ada
hubungan apa TNGL dengan mega proyek Ladia Galaska?
Dari beberapa hasil selancar di lautan
internet, saya menemukan beberapa hal aneh berkaitan dengan TNGL dan Ladia
Galaska, yaitu bantuan Uni Eropa untuk riset di Taman nasional Gunung Leuser
dan Uranium. Bantuan ini diduga membawa motif tertentu. Yaitu dengan cara
memberi bantuan terhadap pemulihan lingkungan dengan niat melakukan penguasaan
kekayaan alam Aceh secara diam-diam. Walaupun keberadaan uranium di TNGL hingga
kini masih menjadi tanda tanya dan bahan perdebatan yang tak pasti. Saya yakin
bahwa Aceh memiliki kekayaan alam barang galian strategis ini.
Menurut data Masyarakat Peduli Leuser (MPL),
masyarakat Uni Eropa mempersiapkan dana senilai Rp. 308 miliar sebagai biaya
untuk pra-penambangan sumber daya alam di kawasan hutan TNGL.
Dana itu belum termasuk dana konservasi
penyelamatan TNGL. Jutaan dolar dikucurkan untuk Leuser oleh Negara-negara
pendonor. Bila dipikir lebih jauh, mengapa hanya TNGL yang diberi bantuan dana
untuk konservasi, padahal hutan-hutan di Indonesia masih banyak lagi dan lebih
luas dari TNGL. Ada apa dengan TNGL?
Menurut penelitian BATAN, di kawasan hutan
TNGL, terdapat 21 jenis bahan tambang alam diperutnya. Potensi bahan tambang
itu antara lain adalah uranium, batu-bara, bahan baku semen, emas dan nikel.
Tidak heran bukan, kalau tahun kemarin media massa nasional dikejutkan dengan
penemuan batu giok seberat 20 ton di kawasan TNGL?
Disinyalir, kandungan Uranium yang tinggi di kawasan
Leuser menjadi kekhawatiran Amerika dan Eropa. Mereka telah lama memantau
kandungan uranium Leuser via satelit. Beberapa aktivis peduli Leuser menuding
Uni Eropa sesungguhnya bukan ingin menyelamatkan TNGL, tapi ingin menguasai
kawasan itu, karena menyimpan uranium sebagai bahan baku nuklir. Seperti ada
sebuah kesengajaan untuk merahasiakan dan mengelabui bangsa Indonesia melalui
penyelamatan paru-paru dunia.
Blangkejeren, Negeri Seribu Bukit
Setelah sempat putus asa saat melewati Gunung
Mugajah, gunung yang menjadi pembatas antara Lokop, Aceh Timur dan Pining, Gayo
Lues. Menuju Blangkejeren tidak kalah menantangnya. Jalanan dari Pining menuju
Blangkejeren selalu menanjak dan berkelok-kelok. Seperti biasa kami disuguhi
dinding tebing yang tinggi di sebelah kanan dan jurang yang dalam di sebelah
kiri. Kami usahakan tidak terlalu mepet ke kiri, sebab kapan saja jalanan
menuju Blangkejeren ini bisa ambles. Ibarat kata, tinggal menunggu maut
orang-orang yang melintas.
Untungnya, jalanan menuju Blangkejeren sudah
diaspal. Kami tak banyak membuang waktu di jalan sehingga bisa mengejar waktu
jangan sampai tiba di Blangkejeren melewati waktu Magrib.
Yang saya ingat saat melewati jalan ini ialah
berjajar ribuan pohon pinus, diselingi semak bunga Edelweis di pinggiran jalan.
Wangi pohon pinus dan Edelweis membaur menentramkan badan kami yang mulai
kelelahan. Dibenakku terpikir, kalau di pinggiran jalan raya saja ada pohon
Edelweis berarti daerah ini sudah lebih dari 1000 mdpl. Pantas saja hawa dingin
mulai menusuk hidung sampai ke paru-paru.
Sebelum magrib kami tiba di Blangkejeren, ibu
kota kabupaten Gayo Lues, Aceh. Kota yang
masuk di wilayah kaki Gunung Leuser dan diantara Pegunungan Bukit
Barisan ini terkenal dengan sebutan “Negeri Seribu Bukit”. Berhawa sejuk,
tenang, dengan nuansa islam yang kental. Kabut dingin biasanya turun di pagi
hari dan sore hari.
Kami singgah sebentar di masjid, mencuci muka
sambil menunggu sang bilal mengumandangkan adzan magrib. Usai sembahyang, hal
pertama yang harus kami lakukan ialah mencari penginapan.
Kami tanya ke warga-warga Blangkejeren tentang
penginapan yang paling murah dan dijawab dengan ramah.
“Bang, maaf mau tanya. Penginapan yang murah di
mana?” tanyaku
“Di Penginapan Bunda.”
Kalau tidak salah, soalnya saya sedikit lupa
tentang nama penginapannya. Si abang yang ditanya menunjukkan arah jalan yang
harus kami lalui.
Sebaliknya mereka balik bertanya dari mana asal
kami.
“Kalian dari mana?”
Tentu saja kami menjawab dari Langsa, Aceh
Timur. Lalu ia bertanya lagi.
“Lewat jalan yang mana?”
“Lokop-Pining”
“Oh, Lukup. Sudah bagus jalannya?”
Saya menjawab ragu, “ya, sudah bagus.”
Sudah bagus jika dibandingkan dengan tempat
pengabdianku di Peunaron, Aceh Timur, jawabku dalam hati. Kalau dibandingkan
dengan jalan di Blangkejeren ya masih jauh. Hahahaha…
Kami tiba di penginapan Bunda, lalu mulai check
in di penginapan. Pemilik penginapan awalnya ragu menerima kami sebab kami
berempat. 3 orang laki-laki dan satu perempuan.
Setelah ku jelaskan, yang laki-laki sekamar
bertiga, yang perempuan kamarnya sendirian. Pemilik penginapan akhirnya mau
menerima kami. Ditambah dengan penjelasan bahwa kami adalah SM3T dari UPI
Bandung penempatan di Aceh Timur yang sedang melancong. Ternyata penginapan
tersebut adalah bekas basecamp SM3T dari Universitas Negeri Yogyakarta,
pemiliknya langsung tersenyum kepada kami menaruh rasa percaya terhadap SM3T.
Terima kasih SM3T UNY atas kebaikannya di Gayo Lues, kami mendapatkan
manfaatnya, Hahahaha..
Usai mandi dengan air yang super dingin di
Blangkejeren yang sejuk, kami keluar penginapan dan mencari makan. Lalu duduk
melingkar di taman kota sambil menikmati malam.
*****
Suhu udara malam di Blangkejeren semakin
dingin, kami bergegas pulang ke penginapan untuk istirahat.
Keesokan harinya, kami bangun pagi-pagi sekali,
kabut tipis masih menyelimuti negeri seribu bukit ini. Ada sesuatu yang ganjil
menurutku ketika berada di Blangkejeren, biasanya kota-kota di Jawa letak
alun-alun, berdampingan dengan balai kota, masjid dan pasar. Namun, tidak di
Blangkejeren. Sejak semalam saya belum melihat kantor sang bupati bertahta.
Karena penasaran saya pergi berniat mencari letak kantor bupati. Tak lama saya
berputar-putar mengelilingi Blangkejeren, akhirnya kutemukan juga. Ternyata ada
komplek tersendiri untuk kantor-kantor dinas Blangkejeren.
Usai puas berkeliling saya balik lagi ke
penginapan, mencari nasi untuk mengganjal perut dan tak lupa rokok dan kopi
untuk diseruput.
Belum ada rencana untuk hari itu, akhirnya kami
searching di internet tentang wisata-wisata yang terdapat di
Blangkejeren. Kami banyak mendapat referensi tentang tempat wisata yang akan
kami kunjungi, tetapi yang lebih menarik perhatianku adalah tentu saja Kolam
biru Rerebe dan Pintu masuk Taman Nasional Gunung Leuser.
Usai sarapan kami bergegas berangkat menuju
Rerebe. Pemilik penginapan memberitahu kami di Rerebe terdapat benteng
peninggalan zaman Belanda. Tambah bersemangatlah kami menuju kesana. Pemilik
penginapan menambahkan, jangan sampai pulang melebihi jam 12 siang, karena akan
dikenai biaya tambahan. Okelah kami sudah paham.
TNGL dan Rerebe
Dengan mengendarai 2 sepeda motor kami
berangkat menuju kolam biru Rerebe, melewati pepohonan pinus , jalanan menurun
nan berkelok, kami sampai di pintu masuk jalur pendakian Gunung Leuser dan
Loser.
Saya mengamati bentuk wajah orang-orang di kaki
Leuser ini berbeda dengan orang Aceh dan Gayo pada umumnya. Kami melewati
gerbang pendaftaran pendakian dengan sepeda motor, memang kami tidak berniat
untuk mendaki. Di tengah perjalanan kami ditanya oleh seseorang.
“Mau kemana?”
“Mau kesana, Pak”. Saya menjawab
“Lebih baik jangan mendaki, kemarin saja ada
tim dari Kopassus baru sampai di puncak Leuser selama seminggu”.
“Seminggu? Tanyaku dalam hati.”
Waw, Pasukan Khusus saja baru bisa sampai di
puncak Leuser selama satu minggu. Apalagi kami yang masih “pemula” saja belum.
Bisa-bisa 3-4 mingggu. Ya, saya tidak heran, saya pernah membaca di internet
untuk mencapai puncak Leuser paling sedikit membutuhkan waktu 21 hari. Baru
bisa menembus lebatnya belantara rimba yang menjadi warisan dunia ini. Jangan
sekali-kali mendaki ke Leuser tanpa seorang Guide (pemandu), salah jalan
bisa saja kita bertemu dengan harimau sumatera atau bisa saja tersesat
selamanya.
Akhirnya kami melanjutkan perjalanan sedikit ke
atas karena penasaran, jalanan aspal ternyata habis sampai di ujung pesawahan.
Kami berhenti sambil mengabadikan momen ini, hujan orografis mulai turun
tipis-tipis di hutan hujan tropis.
Kami berbalik arah, berangkat menuju kolam biru
Rerebe. Entah berapa gampong dan kecamatan yang kami lewati. Akhirnya kami tiba
di desa Rerebe, kecamatan Tripe Jaya. Kolam biru yang kami cari sudah ketemu
berkat tanya-tanya warga sekitar. Jalanan menuju kolam biru Rerebe seperti
tidak diperhatikan oleh pemerintah Gayo Lues. Terbukti ketika kami sampai di
sana, hanya ada kami yang datang di kolam biru ini.
Kolam biru Rerebe, dinamakan kolam biru karena
air yang ada di kolam tersebut berwarna biru alami. Entah ganggang jenis apa
yang membuat airnya berwarna biru. Air terjun yang mengalir deras menambah elok
pemandangan. Ingin rasanya menceburkan badanku yang dari tadi gerah, kepanasan
di atas sepeda motor. Namun, saya sendiri takut melihat kolam biru yang dalam,
dan tidak adanya pengunjung lain membuat suasana bertambah mistis. Mungkin itu
cuma perasaanku saja, bagaimana dengan teman yang lain saya tidak tahu. Yang
pasti, Dadan dan Ana, pasangan yang baru resmi menjalin kasih sayang ini sibuk
berfoto-foto ria. Ayyub dan saya kebagian jadi fotografer. Ya, sesekali meminta
jadi modelnya juga.
Matahari lumayan terik, sekitar pukul sepuluh
kami harus segera pulang ke penginapan. Kami meninggalkan Rerebe, gampong yang
sangat bersejarah saat perang melawan pasukan Belanda.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
daerah Gayo dan Alas secara resmi dimasukan ke dalam Kerajaan Aceh. Pada saat
Sultan Aceh Muhammad Daudsyah menjabat dan menyerah kepada Belanda pada tahun
1903, maka kepala staf Gubernur Militer Aceh Van Heutsz memutuskan untuk
menaklukan seluruh Aceh. Daerah yang belum takluk adalah daerah Gayo Lues dan
Alas. Ini bisa dimengerti karena daerah ini adalah daerah dengan beribu bukit
yang termasuk dalam jajaran pegunungan bukit barisan. Tidak seperti
daerah-daerah pantai timur aceh yang mudah ditaklukkan Karena daerahnya pesisir
pantai. Van Heutsz memerintahkan Van Daalen untuk menaklukkan kedua daerah
tersebut.
Ekspedisi Van Daalen
Atas usul Mohamad Sjarif, seorang pribumi yang menjabat
sebagai komisioner di kantor Gubernur Sipil dan Militer daerah Aceh. Ia
menasihati gubernur militer Aceh ketika itu, Jenderal van Teijn, dan kepala
stafnya, J.B. van Heutsz, untuk membentuk sejumlah detasemen kecil-kecil yang
terdiri dari orang-orang yang cukup berani untuk mencari gerilyawan dan
melawannya dengan senjata-senjata mereka sendiri. Orang-orang yang direkrut
harus dari kalangan pribumi. Sebab, jika menggunakan pasukan Belanda, maka
mereka tidak mampu untuk menembus kondisi alam Aceh yang berbukit-bukit dan
hutan belantara.
Berdasarkan saran ini, Belanda membentuk sebuah
pasukan yang bernama Korps Marsose (Korps Marechaussee Te Voet). Korps
Marechaussee Te Voet merupakan pasukan khusus gerak cepat yang memiliki
strategi kontra gerilya untuk menandingi strategi gerilya pejuang Aceh. Para
serdadu berasal dari berbagai daerah di Nusantara, terutama Ambon dan Jawa.
Mereka lebih terkenal dengan sebutan Belanda Hitam.
Memang penyerangan pasukan Van Daalen pada
tahun 1904 ke Gayo Lues sangat mengerikan dan melelahkan akibat ketangguhan
Korps Marsose. Diakui pertempuran berjalan tidak seimbang, karena pasukan
penyerbu Marsose memiliki persenjataan yang lengkap, bila dibandingkan dengan
pasukan rakyat yang penuh semangat dan keberanian hanya mengandalkan bambu
runcing.
Pada 10 maret 1904, pasukan Van Daalen tiba di
kampung Kla ( Kecamatan Tripe Jaya), di hari yang sama mereka bergerak memasuki
kampung Kloang, kemudian perjalanan dilajutkan ke Desa Rerebe, namun ketika
para penjajah ini memasuki Kampung Rerebe, pejuang pembela tanah air menghadang
pasukan Marsose, karena tak tahan dengan hantaman peluru Belanda, pejuang Gayo
Lues memilih untuk mundur.
Sangat panjang kronologi peristiwa sejarah di
Rerebe, mungkin nanti akan saya jelaskan di novel atau buku yang segera saya
tulis. Kami tiba di penginapan sebelum pukul 12. Segera kami mengepak
barang-barang kami lalu berpamitan dengan pemilik penginapan menuju Takengon,
Aceh Tengah.
Bersambung…..
Note : Tulisan ini pernah di-posting di Kompasiana tahun 2015
0 comments:
Post a Comment