Friday, March 6, 2020

Touring Aceh, Menyusuri Ladia Galaska, Mencari Saman di Pining dan Terpesona Negeri Seribu Bukit

Kolam biru Rerebe, Gayo Lues, Aceh

Ini kisah pengalaman kami ketika menjadi pengabdi pendidikan, SM3T (Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal) di pedalaman Aceh Timur. Kala itu pembelajaran di semester dua sudah berakhir, kami berinisiatif mengisi waktu liburan dengan mengunjungi Dataran Tinggi Takengon, Aceh Tengah. Saya sendiri sudah pernah ke sana saat liburan semester pertama, sedangkan kawan-kawanku belum. Saya ingin ke sana lagi karena rindu dengan kotanya yang nyaman. Namun kali ini tidak menggunakan kendaraan umum, kami menggunakan sepeda motor.
Kami berangkat berempat. Dadan dan Ana, mereka kawan SM3T, Ayub murid SMA tempat Ana dan Dadan mengajar, terakhir saya sendiri. Kami menggunakan 2 sepeda motor, Dadan dengan Ana menggunakan Yamaha V-ixion, saya berboncengan dengan Ayub menggunakan Satria FU.
Kami berencana tidak melewati jalan lintas timur Sumatera. Lhoksukon, Lhokseumawe, Bireun, kami tinggal. Jalan lintas timur Sumatera kami cadangkan untuk rute pulang setelah dari Takengon. Kami mencoba menyusuri jalan mega proyek Ladia Galaska. Proyek kontroversial. Proyek jalan yang menghubungkan Lautan Hindia, dataran tinggi Gayo, Alas, lalu selat Malaka. Proyek jalan ini direncanakan membelah konservasi Taman Nasional Gunung Leuser, taman nasional terluas yang menjadi warisan dunia. Taman Nasional yang baru-baru ini didatangi oleh Leonardo de Caprio.
Perjalanan kami dimulai dari Bayeun, Aceh timur. Bayeun terletak di jalan lintas timur Sumatera yang menghubungkan Medan – Banda Aceh.
Kami sadar hal yang paling penting sebelum melaksanakan perjalanan ialah persiapan. Kami membawa pakaian ganti secukupnya, hanya untuk 2 hari menginap. Celana jeans itu suatu keharusan, lalu jaket untuk menahan terpaan angin selama di perjalanan. Sepeda motor kami servis, sehari sebelum berangkat. Lalu dengan bermodal Bismillah kami berangkat.
Motor kami melaju di atas aspal Jalan lintas timur Sumatera ke arah Banda Aceh. Di awal-awal perjalanan kami berhenti di salah satu SPBU untuk mengisi bensin, sebagai santapan sepeda motor kami selama di perjalanan. Setelah tangki sepeda motor kami terisi penuh, kami melanjutkan perjalanan menyetubuhi Jalan Lintas timur Sumatera ini. Satu jam kemudian kami sampai di Peureulak, salah satu kecamatan di Kabupaten Aceh Timur.
Peureulak
Peureulak ialah salah satu kecamatan di Aceh Timur. Mayoritas penduduknya ialah suku bangsa Aceh. Pada zaman Gerakan Aceh Merdeka dan diberlakukannya darurat militer tahun 2000-an, daerah ini sangat rawan umumnya bagi orang-orang dari Jawa. Ada semacam rindu dendam tersendiri kepada suku Jawa, entah kenapa sebabnya saya tak tahu. Mungkin akibat dari ketimpangan pembangunan salah satunya.
Peureulak pada zaman dahulu ialah sebuah kerajaan islam pertama di Indonesia yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur antara tahun 840-1292M. Letaknya persis menghadap langsung ke selat Malaka. Dinamakan Peureulak sebab daerah ini dahulu kala sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal.
Zhao Rugua pada tahun 1225 mengutip catatan seorang ahli geografi, Chou Ku-fei, bahwa ada negeri orang Islam yang jaraknya hanya lima hari pelayaran dari Jawa. Mungkin negeri yang dimaksudkan adalah Peureulak, sebab Chu-fan-chi menyatakan pelayaran dari Jawa ke Brunei memakan waktu 15 hari. Eksistensi negeri Peureulak ini diperkuat oleh musafir Venesia yang termasyhur yaitu Marcopolo, satu abad kemudian dalam bukunya the Travel of Marcopolo. Ketika Marco Polo pulang dari China melalui jalur laut pada tahun 1291, dia singgah di negeri Ferlec yang sudah memeluk agama Islam.
Sampai di Peurlak, kami langsung melanjutkan perjalanan untuk menyusuri jalan Ladia Galaska. Kami tidak berbelok ke arah Gampong Paya Meuligo, sebuah Gampong yang terdapat bangunan monumen bersejarah yang lebih dikenal dengan Monisa, Monumen Islam Asia Tenggara. Kami sudah sering mengunjungi tempat ini.
Benar dengan apa yang dibicarakan banyak orang, di Monisa terdapat makam bersejarah, yakni Makam Sultan Alaidin Said Abdul Azizsyah. Sultan Alaidin bersama istri Putri Meurah Mahdum Hudawi merupakan pendiri kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara pada 1 Muharram 225 sampai 249 H atau 840 hingga 864 Masehi. Dari gelar “Syah” di belakang namanya, terlihatlah bahwa sultan ini berasal atau keturunan dari Persia yang bermadzhab Syiah. Pernah lututku bergetar hebat ketika di dekat kuburan Sang Sultan ini. Entah ada apa gerangan.
Tepat di gampong Beusa Seberang, Peureulak Barat kami belok ke kiri ke arah Peunaron dan Lokop. Inilah titik awal Jalur Ladia Galaska yang akan kami susuri. Kota pertama tempat tujuan kami menginap adalah Blangkejeren, ibukota kabupaten Gayo Lues.
Motor kami melaju kencang menembus jalanan Peureulak barat, lalu kecamatan Rantau Peurlak, setelah itu Peunaron. Tidak ada cerita yang berarti saat melewati Peurlak barat sampai peunaron, kami sibuk dengan lamunan kami masing-masing. Hanya saja sepanjang jalan kami disuguhi pesawahan yang luas, rumah-rumah dari kayu yang beratapkan seng, jalanan aspal yang lumayan sudah rusak, lalu sedikit pepohonan karet, kelapa sawit dan jabon di kiri kanan jalan. Satu jam dari Peurlak, sekitar 40 km kami tiba di Kecamatan Peunaron. Masuk ke Peunaron kami disuguhi wangi biji coklat yang sedang dijemur di pinggir jalan.
Peunaron
Satu nama tempat yang terdengar akrab bagi mereka yang meminati kajian-kajian sejarah permulaan islam yang pertama kali datang di pantai timur Sumatera. Bagiku juga tidak asing, sebab Peunaron ialah kecamatan tempatku ditugaskan mengabdi. Walaupaun desa atau gampong tempatku bertugas masih jauh lagi sekitar 15 km ke pedalaman Peunaron.
Peunaron pada zaman dahulu ialah salah satu daerah yang masuk dalam wilayah kerajaan Peureulak, saat Kerajaan Peurlak dibagi dua. Peurlak pesisir dikuasai oleh sultan yang bermadzhab Syiah, sedangkan Peurlak pedalaman bermadzhab Sunni yang diyakini berdiri di sekitar Peunaron.
Paska kemerdekaan Indonesia, Peunaron adalah rimba belantara dan rawa-rawa sunyi. Barulah pada tahun 1980-an diubah menjadi daerah transmigrasi pada era the smiling General Soeharto.
Asal muasal daerah ini dinamai Peunaron sebab dari dulu sampai sekarang terkenal dengan kesuburannya. Berbagai hasil alam diperoleh di sini. Orang yang datang ke sini dulunya mengambil semua hasil alam yang mungkin mereka peroleh lalu mereka ikat ke punggung mereka. Itulah sebabnya tempat ini disebut dengan pu-na-run (Bahasa Gayo, -red).
Peunaron atau kalau dalam bahasa Gayo disebut Punarun, adalah nama sebuah kecamatan yang terdapat di kabupaten Aceh Timur. Kecamatan ini merupakan hasil pemekaran dari kecamatan Serbajadi. Wilayahnya berjarak sekitar 86 km dari kota Langsa atau 2-3 jam perjalanan menggunakan kendaraan roda 4. Dari jumlah penduduknya, 40% adalah suku bangsa Gayo, 40% Jawa dan Sunda, 20% Aceh, Minangkabau dan batak. Setiap suku bangsa menggunakan bahasanya sendiri. Umumnya memakai bahasa indonesia.
Tiba di dekat Kantor Camat Peunaron, motor kami ingin segera istirahat, kami menepi di sebuah kedai bakso. Demi mengganjal perut yang dari tadi pagi belum terisi. Sekitar 1 jam kami duduk santai di Kedai, setelah makanan di perut turun kami melanjutkan perjalanan ke selatan, ke arah Lokop, Serbajadi.
Lokop, Serbajadi
Menjauhi Peunaron perjalanan kami mulai disuguhi dengan jalanan yang menanjak dengan aspal yang sudah rusak. Deru motor kami membelah perkampungan-perkampungan yang sunyi, sesekali harus minggir ke kiri untuk mempersilakan truk-truk pengangkut kayu gelondongan dari pedalaman hutan lewat.
Sampai di Gampong Kuala Pangoh kami melewati jembatan yang mengangkangi Sungai Bunin yang lumayan lebar. Airnya mengalir deras dan jernih. Kami tak sempat singgah, kami seolah dikejar waktu sebab jangan sampai terjebak tengah malam di belantara rimba Lokop, Aceh Timur – Pining, Gayo Lues.
Mendekati Lokop handphone kami sudah mulai tidak bisa menangkap sinyal, mungkin keberadaan kami pun sudah tidak tertangkap oleh satelit. Sepanjang perjalanan di kiri jalan adalah tebing, di kanan jalan, jurang. Jauh di seberang kanan kami terlihat siluet gunung Sembuang sekitar 1.615 mdpl, biru hitam menyeramkan. Ini rimba belantara asli, masih dihuni oleh Datuk, atau gajah-gajah liar Sumatera dan Si Raja rimba Panthera Tigris Sumatrae atau harimau Sumatera. Sayang sekali keberadaan mereka tinggal sedikit, data terakhir hanya ada 400-an ekor Harimau Sumatera yang masih hidup.
Bau durian tercium hingga menusuk hidung kami saat kami hendak masuk wilayah Lokop, bulan agustus adalah bulan panen durian bagi warga Lokop. Jangan kaget kalau harga durian di sini murah sekali, 5 ribu rupiah bisa dapat 2 buah durian. Paling sedikit 5 ribu dapat satu buah. Apalagi kalau kita mengaku sebagai orang Gayo, bisa-bisa diberi buah sampai sekenyang-kenyangnya.
Akhirnya kami sampai di Lokop, Sebuah kecamatan terpelosok di ujung paling barat kabupaten Aceh Timur. Mayoritas penduduknya ialah Orang Gayo. Orang Gayo sendiri berarti orang Gunung. Suku bangsa Gayo di Lokop masih satu keturunan dengan orang Gayo di Takengon, Aceh Tengah. Di sini, terdapat beberapa kawan kami yang ditugaskan menjadi pendidik di SMP dan SMK.
Lokop, zaman dahulu ialah sebuah kerajaan Islam kecil. Nama Lokop berasal dari bahasa Gayo, Lukup yang artinya buah mangga hutan. Serbajadi berasal dari kata bejadi yang berarti semoga menjadi (tumbuh subur).
Sebelum abad ke 12 M di Lokop ada Kerajaan yang namanya Kerajaan Syech Mursyid Merah Habox yang sekarang di kenal dengan sebutan gelar Munyang Tualang. Pada waktu itu Syech Merah Habox sebagai ulama besar membawa syiar agama Islam, sewaktu beliau pertama membuka Negeri Lokop Serbajadi yang baru ada di sana hanyalah buah mangga hutan (lukup), jadi setelah koordinasi dengan teman-temannya, serentak menjawab ‘bejadi’ yang artinya walaupun belum ada buah-buahan lain untuk dimakan dengan buah lukup ini, negeri ini tetap jadi (yang sekarang di sebut Lokop, Serbajadi).
Tak sempat kami bertamu dan bertemu dengan teman kami, kami harus melanjutkan perjalanan membelah belantara rimba perbatasan Aceh Timur dan Gayo Lues.
*****
Mencari Saman di Pining
Menuju Kampung Pining, dengan medan yang sedikit agak ekstrim, dibutuhkan kehati-hatian, kami disuguhi dinding tebing yang sunyi dan jurang yang dalam selama perjalanan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, maksudku tidak ada tanda-tanda orang yang bermukim di sepanjang perjalanan kami. Sempat kami berputus asa sebab yang kami temui hanyalah beribu-ribu bukit yang tak ada putusnya.

Touring Aceh, Aceh Timur - Gayo Lues - Takengon, Aceh Tengah
Sesekali berfoto untuk mengabadikan momen

Motor kami hentikan ketika melihat ada mata air yang mengalir dari dinding tebing, kami berhenti sejenak hanya sekadar meluruskan punggung dan membasuh muka. Tak lupa pula kami mengabadikan momen kami dengan ribuan bukit jadi backgroundnya. Gila, Indahnya pedalaman Aceh, It’s amazing.

Pining, sebuah nama kecamatan di ujung bagian timur kabupaten Gayo Lues. Ada kabar di sini tempat dilahirkannya tari Saman yang menjadi warisan budaya Dunia oleh UNESCO. Tari yang menurutku sangat menakjubkan, setiap gerakan penarinya yang kompak dan serempak mengandung unsur mistis. Beberapa kali saya dibikin merinding saat melihat pertunjukkan tari Saman ini.
Agak jengkel juga ketika mendengar orang-orang di seantero Indonesia, Tari Saman berasal dari Aceh yang yang ditarikan oleh perempuan dengan baju yang warna-warni, itu bukan Tari Saman! Tari Saman berasal dari Gayo, suku bangsa Gayo. Memang sih Gayo termasuk dalam Provinsi Aceh. Namun, suku bangsa Gayo bukan Suku bangsa Aceh.
Jalanan berliku, panorama alam nan indah, menyimpan sejuta pesona dari ufuk barat hingga ke timur yang terus memikat mata, dengan hamparan nan luas, cuaca yang bersahabat sedikit agak panas. Ada yang lebih unik dan asoi, ketika kita memandang Pining dari lembah Atu Kapur, terlihat sebuah areal luas yang membentang, lembah di apit dengan beragam gunung dan perbukitan-perbukitan kecil.

Touring Aceh, Aceh Timur - Gayo Lues - Takengon, Aceh Tengah
Mengabadikan momen, Jembatan yang membelah sungai sebelum masuk Pining, Gayo Lues
Itulah sekilas keadaan Pining saat ini, dan sampai saat ini juga masih menjadi kecamatan yang paling terisolir di Kabupaten Gayo Lues, dengan angka pendidikan yang masih rendah, mutu pendidikan yang masih jauh dari kata layak untuk mengikuti perkembangan kurikulum masa kini.

Kami mendapat kabar kalau di Pining juga terdapat SM3T yang ditugaskan di sini, tetapi berbeda dengan kami yang dari UPI Bandung, yang ditugaskan di kabupaten Gayo Lues termasuk Pining adalah dari Universitas Negeri Yogyakarta.
Kami tak sempat bertemu mereka, kami melanjutkan perjalanan menuju kota Blangkejeren, Ibukota Gayo Lues.
Dari Pining kami menuju Blangkejeren, ibukota kabupaten Gayo Lues, Aceh. Meninggalkan kecamatan Pining tentu tak bisa lepas dari kontroversi mega proyek Ladia Galaska. Sebab, Pining adalah pintu masuk kita ke dalam kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Lalu ada hubungan apa TNGL dengan mega proyek Ladia Galaska?
Dari beberapa hasil selancar di lautan internet, saya menemukan beberapa hal aneh berkaitan dengan TNGL dan Ladia Galaska, yaitu bantuan Uni Eropa untuk riset di Taman nasional Gunung Leuser dan Uranium. Bantuan ini diduga membawa motif tertentu. Yaitu dengan cara memberi bantuan terhadap pemulihan lingkungan dengan niat melakukan penguasaan kekayaan alam Aceh secara diam-diam. Walaupun keberadaan uranium di TNGL hingga kini masih menjadi tanda tanya dan bahan perdebatan yang tak pasti. Saya yakin bahwa Aceh memiliki kekayaan alam barang galian strategis ini.
Menurut data Masyarakat Peduli Leuser (MPL), masyarakat Uni Eropa mempersiapkan dana senilai Rp. 308 miliar sebagai biaya untuk pra-penambangan sumber daya alam di kawasan hutan TNGL.
Dana itu belum termasuk dana konservasi penyelamatan TNGL. Jutaan dolar dikucurkan untuk Leuser oleh Negara-negara pendonor. Bila dipikir lebih jauh, mengapa hanya TNGL yang diberi bantuan dana untuk konservasi, padahal hutan-hutan di Indonesia masih banyak lagi dan lebih luas dari TNGL. Ada apa dengan TNGL?
Menurut penelitian BATAN, di kawasan hutan TNGL, terdapat 21 jenis bahan tambang alam diperutnya. Potensi bahan tambang itu antara lain adalah uranium, batu-bara, bahan baku semen, emas dan nikel. Tidak heran bukan, kalau tahun kemarin media massa nasional dikejutkan dengan penemuan batu giok seberat 20 ton di kawasan TNGL?
Disinyalir, kandungan Uranium yang tinggi di kawasan Leuser menjadi kekhawatiran Amerika dan Eropa. Mereka telah lama memantau kandungan uranium Leuser via satelit. Beberapa aktivis peduli Leuser menuding Uni Eropa sesungguhnya bukan ingin menyelamatkan TNGL, tapi ingin menguasai kawasan itu, karena menyimpan uranium sebagai bahan baku nuklir. Seperti ada sebuah kesengajaan untuk merahasiakan dan mengelabui bangsa Indonesia melalui penyelamatan paru-paru dunia.
Blangkejeren, Negeri Seribu Bukit
Setelah sempat putus asa saat melewati Gunung Mugajah, gunung yang menjadi pembatas antara Lokop, Aceh Timur dan Pining, Gayo Lues. Menuju Blangkejeren tidak kalah menantangnya. Jalanan dari Pining menuju Blangkejeren selalu menanjak dan berkelok-kelok. Seperti biasa kami disuguhi dinding tebing yang tinggi di sebelah kanan dan jurang yang dalam di sebelah kiri. Kami usahakan tidak terlalu mepet ke kiri, sebab kapan saja jalanan menuju Blangkejeren ini bisa ambles. Ibarat kata, tinggal menunggu maut orang-orang yang melintas.
Untungnya, jalanan menuju Blangkejeren sudah diaspal. Kami tak banyak membuang waktu di jalan sehingga bisa mengejar waktu jangan sampai tiba di Blangkejeren melewati waktu Magrib.
Yang saya ingat saat melewati jalan ini ialah berjajar ribuan pohon pinus, diselingi semak bunga Edelweis di pinggiran jalan. Wangi pohon pinus dan Edelweis membaur menentramkan badan kami yang mulai kelelahan. Dibenakku terpikir, kalau di pinggiran jalan raya saja ada pohon Edelweis berarti daerah ini sudah lebih dari 1000 mdpl. Pantas saja hawa dingin mulai menusuk hidung sampai ke paru-paru.
Sebelum magrib kami tiba di Blangkejeren, ibu kota kabupaten Gayo Lues, Aceh. Kota yang  masuk di wilayah kaki Gunung Leuser dan diantara Pegunungan Bukit Barisan ini terkenal dengan sebutan “Negeri Seribu Bukit”. Berhawa sejuk, tenang, dengan nuansa islam yang kental. Kabut dingin biasanya turun di pagi hari dan sore hari.
Kami singgah sebentar di masjid, mencuci muka sambil menunggu sang bilal mengumandangkan adzan magrib. Usai sembahyang, hal pertama yang harus kami lakukan ialah mencari penginapan.
Kami tanya ke warga-warga Blangkejeren tentang penginapan yang paling murah dan dijawab dengan ramah.
“Bang, maaf mau tanya. Penginapan yang murah di mana?” tanyaku
“Di Penginapan Bunda.”
Kalau tidak salah, soalnya saya sedikit lupa tentang nama penginapannya. Si abang yang ditanya menunjukkan arah jalan yang harus kami lalui.
Sebaliknya mereka balik bertanya dari mana asal kami.
“Kalian dari mana?”
Tentu saja kami menjawab dari Langsa, Aceh Timur. Lalu ia bertanya lagi.
“Lewat jalan yang mana?”
“Lokop-Pining”
“Oh, Lukup. Sudah bagus jalannya?”
Saya menjawab ragu, “ya, sudah bagus.”

Sudah bagus jika dibandingkan dengan tempat pengabdianku di Peunaron, Aceh Timur, jawabku dalam hati. Kalau dibandingkan dengan jalan di Blangkejeren ya masih jauh. Hahahaha…
Kami tiba di penginapan Bunda, lalu mulai check in di penginapan. Pemilik penginapan awalnya ragu menerima kami sebab kami berempat. 3 orang laki-laki dan satu perempuan.
Setelah ku jelaskan, yang laki-laki sekamar bertiga, yang perempuan kamarnya sendirian. Pemilik penginapan akhirnya mau menerima kami. Ditambah dengan penjelasan bahwa kami adalah SM3T dari UPI Bandung penempatan di Aceh Timur yang sedang melancong. Ternyata penginapan tersebut adalah bekas basecamp SM3T dari Universitas Negeri Yogyakarta, pemiliknya langsung tersenyum kepada kami menaruh rasa percaya terhadap SM3T. Terima kasih SM3T UNY atas kebaikannya di Gayo Lues, kami mendapatkan manfaatnya, Hahahaha..
Usai mandi dengan air yang super dingin di Blangkejeren yang sejuk, kami keluar penginapan dan mencari makan. Lalu duduk melingkar di taman kota sambil menikmati malam.
*****
Suhu udara malam di Blangkejeren semakin dingin, kami bergegas pulang ke penginapan untuk istirahat.
Keesokan harinya, kami bangun pagi-pagi sekali, kabut tipis masih menyelimuti negeri seribu bukit ini. Ada sesuatu yang ganjil menurutku ketika berada di Blangkejeren, biasanya kota-kota di Jawa letak alun-alun, berdampingan dengan balai kota, masjid dan pasar. Namun, tidak di Blangkejeren. Sejak semalam saya belum melihat kantor sang bupati bertahta. Karena penasaran saya pergi berniat mencari letak kantor bupati. Tak lama saya berputar-putar mengelilingi Blangkejeren, akhirnya kutemukan juga. Ternyata ada komplek tersendiri untuk kantor-kantor dinas Blangkejeren.
Usai puas berkeliling saya balik lagi ke penginapan, mencari nasi untuk mengganjal perut dan tak lupa rokok dan kopi untuk diseruput.
Belum ada rencana untuk hari itu, akhirnya kami searching di internet tentang wisata-wisata yang terdapat di Blangkejeren. Kami banyak mendapat referensi tentang tempat wisata yang akan kami kunjungi, tetapi yang lebih menarik perhatianku adalah tentu saja Kolam biru Rerebe dan Pintu masuk Taman Nasional Gunung Leuser.
Usai sarapan kami bergegas berangkat menuju Rerebe. Pemilik penginapan memberitahu kami di Rerebe terdapat benteng peninggalan zaman Belanda. Tambah bersemangatlah kami menuju kesana. Pemilik penginapan menambahkan, jangan sampai pulang melebihi jam 12 siang, karena akan dikenai biaya tambahan. Okelah kami sudah paham.
TNGL dan Rerebe
Dengan mengendarai 2 sepeda motor kami berangkat menuju kolam biru Rerebe, melewati pepohonan pinus , jalanan menurun nan berkelok, kami sampai di pintu masuk jalur pendakian Gunung Leuser dan Loser.
Saya mengamati bentuk wajah orang-orang di kaki Leuser ini berbeda dengan orang Aceh dan Gayo pada umumnya. Kami melewati gerbang pendaftaran pendakian dengan sepeda motor, memang kami tidak berniat untuk mendaki. Di tengah perjalanan kami ditanya oleh seseorang.
“Mau kemana?”
“Mau kesana, Pak”. Saya menjawab
“Lebih baik jangan mendaki, kemarin saja ada tim dari Kopassus baru sampai di puncak Leuser selama seminggu”.
“Seminggu? Tanyaku dalam hati.”
Waw, Pasukan Khusus saja baru bisa sampai di puncak Leuser selama satu minggu. Apalagi kami yang masih “pemula” saja belum. Bisa-bisa 3-4 mingggu. Ya, saya tidak heran, saya pernah membaca di internet untuk mencapai puncak Leuser paling sedikit membutuhkan waktu 21 hari. Baru bisa menembus lebatnya belantara rimba yang menjadi warisan dunia ini. Jangan sekali-kali mendaki ke Leuser tanpa seorang Guide (pemandu), salah jalan bisa saja kita bertemu dengan harimau sumatera atau bisa saja tersesat selamanya.
Akhirnya kami melanjutkan perjalanan sedikit ke atas karena penasaran, jalanan aspal ternyata habis sampai di ujung pesawahan. Kami berhenti sambil mengabadikan momen ini, hujan orografis mulai turun tipis-tipis di hutan hujan tropis.
Kami berbalik arah, berangkat menuju kolam biru Rerebe. Entah berapa gampong dan kecamatan yang kami lewati. Akhirnya kami tiba di desa Rerebe, kecamatan Tripe Jaya. Kolam biru yang kami cari sudah ketemu berkat tanya-tanya warga sekitar. Jalanan menuju kolam biru Rerebe seperti tidak diperhatikan oleh pemerintah Gayo Lues. Terbukti ketika kami sampai di sana, hanya ada kami yang datang di kolam biru ini.
Kolam biru Rerebe, dinamakan kolam biru karena air yang ada di kolam tersebut berwarna biru alami. Entah ganggang jenis apa yang membuat airnya berwarna biru. Air terjun yang mengalir deras menambah elok pemandangan. Ingin rasanya menceburkan badanku yang dari tadi gerah, kepanasan di atas sepeda motor. Namun, saya sendiri takut melihat kolam biru yang dalam, dan tidak adanya pengunjung lain membuat suasana bertambah mistis. Mungkin itu cuma perasaanku saja, bagaimana dengan teman yang lain saya tidak tahu. Yang pasti, Dadan dan Ana, pasangan yang baru resmi menjalin kasih sayang ini sibuk berfoto-foto ria. Ayyub dan saya kebagian jadi fotografer. Ya, sesekali meminta jadi modelnya juga.
Matahari lumayan terik, sekitar pukul sepuluh kami harus segera pulang ke penginapan. Kami meninggalkan Rerebe, gampong yang sangat bersejarah saat perang melawan pasukan Belanda.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda daerah Gayo dan Alas secara resmi dimasukan ke dalam Kerajaan Aceh. Pada saat Sultan Aceh Muhammad Daudsyah menjabat dan menyerah kepada Belanda pada tahun 1903, maka kepala staf Gubernur Militer Aceh Van Heutsz memutuskan untuk menaklukan seluruh Aceh. Daerah yang belum takluk adalah daerah Gayo Lues dan Alas. Ini bisa dimengerti karena daerah ini adalah daerah dengan beribu bukit yang termasuk dalam jajaran pegunungan bukit barisan. Tidak seperti daerah-daerah pantai timur aceh yang mudah ditaklukkan Karena daerahnya pesisir pantai. Van Heutsz memerintahkan Van Daalen untuk menaklukkan kedua daerah tersebut.
Ekspedisi Van Daalen
Atas usul Mohamad Sjarif, seorang pribumi yang menjabat sebagai komisioner di kantor Gubernur Sipil dan Militer daerah Aceh. Ia menasihati gubernur militer Aceh ketika itu, Jenderal van Teijn, dan kepala stafnya, J.B. van Heutsz, untuk membentuk sejumlah detasemen kecil-kecil yang terdiri dari orang-orang yang cukup berani untuk mencari gerilyawan dan melawannya dengan senjata-senjata mereka sendiri. Orang-orang yang direkrut harus dari kalangan pribumi. Sebab, jika menggunakan pasukan Belanda, maka mereka tidak mampu untuk menembus kondisi alam Aceh yang berbukit-bukit dan hutan belantara.
Berdasarkan saran ini, Belanda membentuk sebuah pasukan yang bernama Korps Marsose (Korps Marechaussee Te Voet). Korps Marechaussee Te Voet merupakan pasukan khusus gerak cepat yang memiliki strategi kontra gerilya untuk menandingi strategi gerilya pejuang Aceh. Para serdadu berasal dari berbagai daerah di Nusantara, terutama Ambon dan Jawa. Mereka lebih terkenal dengan sebutan Belanda Hitam.
Memang penyerangan pasukan Van Daalen pada tahun 1904 ke Gayo Lues sangat mengerikan dan melelahkan akibat ketangguhan Korps Marsose. Diakui pertempuran berjalan tidak seimbang, karena pasukan penyerbu Marsose memiliki persenjataan yang lengkap, bila dibandingkan dengan pasukan rakyat yang penuh semangat dan keberanian hanya mengandalkan bambu runcing.
Pada 10 maret 1904, pasukan Van Daalen tiba di kampung Kla ( Kecamatan Tripe Jaya), di hari yang sama mereka bergerak memasuki kampung Kloang, kemudian perjalanan dilajutkan ke Desa Rerebe, namun ketika para penjajah ini memasuki Kampung Rerebe, pejuang pembela tanah air menghadang pasukan Marsose, karena tak tahan dengan hantaman peluru Belanda, pejuang Gayo Lues memilih untuk mundur.
Sangat panjang kronologi peristiwa sejarah di Rerebe, mungkin nanti akan saya jelaskan di novel atau buku yang segera saya tulis. Kami tiba di penginapan sebelum pukul 12. Segera kami mengepak barang-barang kami lalu berpamitan dengan pemilik penginapan menuju Takengon, Aceh Tengah.
Bersambung…..

Note : Tulisan ini pernah di-posting di Kompasiana tahun 2015

Location: Slendra, Gegesik, Cirebon, West Java, Indonesia

0 comments:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html